In-depth

Ironi Ajax Amsterdam, Ketika Keuntungan Bisnis Lebih Penting dari Kepuasan Prestasi

Senin, 24 Februari 2020 20:57 WIB
Penulis: Arief Tirtana | Editor: Lanjar Wiratri
© Soccrates Images/GettyImages
Ajax Amsterdam musim ini kembali menujukan posisinya sebagai klub yang lebih sering menjual pemain, dibanding menahannya demi raihan prestasi. Copyright: © Soccrates Images/GettyImages
Ajax Amsterdam musim ini kembali menujukan posisinya sebagai klub yang lebih sering menjual pemain, dibanding menahannya demi raihan prestasi.

INDOSPORT.COM - Ajax Amsterdam musim ini kembali menujukan posisinya sebagai klub yang lebih sering menjual pemain, dibanding menahannya demi raihan prestasi.

Nama besar klub Liga Belanda Ajax amsterdam sebagai salah satu klub besar Eropa dengan akademi yang selalu bisa melahirkan nama-nama bintang, memang tak bisa diragukan lagi.

Sejak Era Johan Cruyff di tahun 60 dan 70-an, Seedorf di tahun 90-an hingga belakangan muncul nama Matthijs de Ligt dan Frenkie de Jong di musim lalu yang mencuat sebagai pemain muda yang bersinar di level senior.

Namun meski terus konsisten mampu melahirkan pemain-pemain muda, menjadi bintang sepak bola yang disegani di Eropa, ada satu perbedaan mencolok dari Ajax Amsterdam di era-era sebelumnya, dengan apa yang mereka dapat di setelah tahun 2000-an hingga kini.

Prestasi dan Bisnis

Perbedaan mencolok tersebut adalah dari segi prestasi. Jika dulu disaat bisa melahirkan nama-nama bintang, prestasi Ajax Amsterdam tetap bisa mentereng di level Eropa, kini justru sebaliknya.

Sejak terakhir bisa merajai Eropa dengan gelar Liga Champions di musim 1994/95, hingga kini tak satupun trofi Si Kuping Besar bisa kembali dihadirkan klub yang identik dengan warna merah-putih itu ke Ibu Kota Belanda.

Lebih ironis ketika sebenarnya mereka hampir saja bisa mengulangi prestasi membanggakan di level Eropa pada Liga Champions musim 2018/19, usai bisa menembus babak semifinal, jalan berlawanan justru dipilih oleh manajemen Ajax Amsterdam.

Jalan tersebut  menambah kekuatan timnya untuk minimal bisa mengulang sukses menembus semifinal Liga Champions, manajemen Ajax Amsterdam justru memilih untuk meraup keuntungan. Mereka memanfaatkan momen pemain-pemain mudanya yang laris manis setelah sukses masuk semifinal di musim 2018/19.

Setidaknya dua nama pemain andalannya kala itu Frenkie de Jong dan Matthijs de Ligt dijual mahal Ajax Amsterdam, ke Barcelona dan Juventus.

Dari penjualan dua pemain itu saja Ajx Amsterdam bisa meraup dana segar mencapai Rp2,3 trilun. Dalam rincian harga De Jong 75 juta euro (Rp1,2 triliun) dan De Ligt 70 kuta euro (sekitar Rp 1,1 triliun).

Terbukti setelah penjualan dua nama tersebut, prestasi Ajax Amsterdam di Eropa jauh menurun. Alih-alih lebih baik, mereka justru gagal melewati fase grup. Kalah bersaing dengan Valencia dan Chelsea di Grup H Liga Champions musim ini, hingga terlempar ke Liga Europa.

Seakan tak menyesali kebijakan penjualan pemainnya, Ajax Amsterdam kembali tak sungkan untuk melego pemain bintangnya musim ini. Setelah Hakim Ziyech dipastikan akan dilepas pada akhir musim ke klub Liga Inggris, Chelsea dengan harga jual mencapai 37 juta poundsterling atau setara dengan Rp662,5 miliar. 

Dengan kondisi keuangan yang kini sedang tidak dalam masalah, penjualan Hakim Ziyech dan beberapa bintang Ajax Amsterdam tentu akan sangat disesali oleh suporter mereka yang berharap timnya bisa kembali mencatatkan prestasi gemilang di Eropa.

Sebab apapun alasannya, baik itu kondisi Liga Belanda yang masih tak lebih besar dari Liga Inggris, Italia dan Spayol , manajemen Ajax Amsterdam rasanya sudah harus memikirkan untuk bisa menghadirkan prestasi ketimbang terus berusaha meraup keuntungan bisnis semata.