In-depth

Ibadah Puasa, Dilema Keimanan Pesepak Bola Eropa

Selasa, 28 April 2020 13:49 WIB
Editor: Prio Hari Kristanto
© John Powell/Liverpool FC via Getty Images
Meski ditunggu-tunggu umat muslim seluruh dunia, ternyata hadirnya Ramadan kerap memunculkan dilema tersendiri di industri sepak bola, khususnya Eropa. Copyright: © John Powell/Liverpool FC via Getty Images
Meski ditunggu-tunggu umat muslim seluruh dunia, ternyata hadirnya Ramadan kerap memunculkan dilema tersendiri di industri sepak bola, khususnya Eropa.

INDOSPORT.COM - Bulan suci Ramadan kembali tiba. Meski ditunggu-tunggu umat muslim seluruh dunia, ternyata hadirnya Ramadan kerap memunculkan dilema tersendiri di industri sepak bola, khususnya Eropa. 

Bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hal ini tentu tak jadi masalah lantaran jalannya kompetisi disesuaikan dengan bulan Ramadan. Biasanya kompetisi akan diliburkan atau apabila dimainkan hanya pada waktu malam hari. 

Akan tetapi menjadi hal yang berbeda jika kita bicara sepak bola di Eropa. Sebagai kutub sepak bola dunia, kompetisi di Benua Biru ternyata 'tak ramah' bagi pemain muslim.   

Hampir semua liga Eropa (termasuk 5 Liga Top) tak menerapkan libur kompetisi atau pun aturan khusus selama bulan Ramadan. Hal ini memaksa para pemain untuk menjalani ibadah puasa di tengah-tengah pertandingan yang padat. 

Para pesepak bola muslim terpaksa menghadapi dilema keimanan di tengah-tengah bulan Ramadan. Di sisi lain mereka harus menjalani tugas ibadah, namun dalam waktu bersamaan mereka dituntut untuk tampil profesional dan maksimal di pertandingan. 

Sebuah pemandangan yang rumit ketika dokter tim Liverpool dan Tottenham Hotspur secara kompak menyarankan pemain muslim di timnya untuk tak puasa pada final Liga Champions 2018-2019 lalu. 

Selama dua musim beruntun final Liga Champions harus jatuh di bulan puasa. Bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa, anjuran dari dokter tim tentu menghadirkan kompleksitas tersendiri. 

Untungnya ketika itu Mohamed Salah, Sadio Mane (Liverpool) dan Mousa Sissoko (Spurs) tetap berpegang teguh pada ibadahnya. Mereka bahkan sampai berbuka puasa di sela-sela pertandingan. 

Ujian yang dihadapi ketiganya memang cukup berat. Berbeda dengan di Indonesia, waktu berpuasa di Spanyol (tempat laga final digelar), bisa sampai 16-17 jam!

Tentu tak semua pemain muslim di Eropa seperti Salah atau pun Sissoko. Ada juga pemain muslim yang memilih tak berpuasa demi tampil prima saat bermain. 

Cari Akal

Memang tak bisa dipungkiri kondisi fisik pemain sepak bola akan menurun apabila berpuasa sebelum dan selama pertandingan. Tidak adanya asupan makanan dan cairan membuat energi tubuh berkurang. 

Meski begitu, bagi para pemain muslim profesional di Eropa, puasa tak tak dijadikan mereka halangan untuk bisa tampil maksimal. 

Mereka pun harus putar otak mencari akal untuk bisa mengatasi kondisi ini. Mohamed Salah misalnya, pemain muslim paling populer di dunia ini memilih berlatih sendiri/terpisah pada dini hari

Salah tak mengendurkan intensitas latihannya di Liverpool, hanya saja ia menggeser sebagian waktu latihannya ke waktu yang tak biasa, seperti pada dini hari. Dalam sebuah kesempatan Salah menunjukkan aktivitas latihan tersebut di media sosialnya. 

Pada akhirnya semua balik lagi kepada ketaatan masing-masing pemain. Bila puasa disebut sebagai penghalang, namun nyatanya para pemain muslim ini tetap tampil bagus selama bermain di bulan puasa. 

Hakim Ziyech (Ajax) dan Mohamed Salah (Liverpool) telah membuktikannya pada Liga Champions musim lalu. 

Selain itu, dokter tim di klub-klub Eropa tentu sudah mengantisipasi hal ini. Mereka akan mengatur pola sedemikian rupa untuk tetap menjaga kesehatan dan kebugaran pemainnya yang berpuasa mulai dari komposisi makanan dan waktu istirahat. 

Dalam satu dekade terakhir jumlah pemain muslim di Eropa memang meningkat. Pemerataan pengembangan sepak bola memang memberikan kesempatan bagi negara-negara Timur Tengah atau pun Afrika yang notabene mayoritas muslim untuk mengirimkan pemainnya ke Eropa. 

Saatnya Kelonggaran Aturan?

Mungkin ini sudah saatnya bagi federasi-federasi sepak bola di Eropa untuk lebih 'ramah' terhadap pesepak bola muslim. 

Tak perlu seperti di Indonesia atau liga di negara Islam lainnya, mungkin federasi-federasi sepak bola di Eropa cukup untuk mengendurkan padatnya kompetisi di bulan Ramadan. 

Atau, pertandingan bisa digelar pada malam hari untuk meringankan beban yang dirasakan para pemain muslim selama berpuasa. Sebab, jumlah pemain beragama muslim di Eropa memang tak main-main.  

Di Liga Inggris saja terdapat banyak pemain bintang yang beragama Islam seperti Mesut Ozil, Antonio Rudinger, Sadio Mané, Paul Pogba, N'Golo Kanté, sampai Riyad Mahrez. 

Belum lagi di belahan Eropa lainnya seperti di Italia yang juga terhampar pemain sepak bola muslim seperti Samir Handanovic, Ibrahima Mbyae, Kalidou Koulibaly, Berat Djimisti, Faouzi Ghoulam, Cengiz Under, Sami Khedira, Miralem Pjanic, Hakan Calhanoglu, hingga Edin Dzeko. 

Sementara di Spanyol ada puluan pemain muslim di antaranya Karim Benzema, Nabil Fekir, Geoffrey Kondogbia, dan Adnan Januzaj. Di Belanda salah satu yang paling populer adalah Hakim Ziyech (Ajax Amasterdam). 

Meski demikan, jalan panjang sepertinya masih harus dilalu sampai tiba waktu di mana liga-liga Eropa lebih ramah terhadap pemain muslim. Keberadaan mayoritas suporter non-muslim, ditambah tuntutan sponsor dan padatnya jeda antar kompetisi masih akan jadi pertimbangan serius bagi federasi untuk tidak menerapkan regulasi khusus pada bulan Ramadan