In-depth

Lembar yang Hilang: Izaac Fatari, Sang Puskas dari Inanwatan

Rabu, 29 April 2020 17:27 WIB
Penulis: Sudjarwo | Editor: Ivan Reinhard Manurung
 Copyright:

INDOSPORT.COM - Jauh sebelum Indonesia mengenal Boaz Solossa, nama Izaac Fatari lebih dulu membumi di jagad sepak bola nasional. Penyerang asal Sorong ini merupakan salah satu jebolan PPLP (Diklat) Papua angkatan awal. Tepatnya, 1987.

Izaac dikenal sebagai salah satu penyerang andal pada zamannya saat kompetisi sepak bola Indonesia mulai menapaki era profesional.

Semasa menjadi pemain, penyerang kelahiran Sorong ini pernah memperkuat tiga klub besar di Indonesia Timur. Diantaranya, Persipura Jayapura, PSM Makassar dan Persma Manado.

Ia menjadi bagian sejarah dari generasi baru Persipura yang berjuang mengangkat tim kebanggaan masyarakat Papua itu kembali ke kasta tertinggi sepak bola Indonesia.

Izaac ibaratkan sang maestro lapangan hijau asal Hungaria, Ferenc Puskas. Bertubuh gempal, tapi sangat licin ketika berada di kotak penalti lawan. Keduanya juga memiliki ciri khas yang sama, jago menimang-nimang bola.

Kemahirannya dalam membuat gol meski dengan postur yang tak ideal sebagai seorang penyerang, membuatnya pantas dijuluki Sang Puskas dari Inanwatan (Kampung leluhur Izaac yang terletak di Kabupaten Sorong Selatan).

"Dia memang pemain yang berbakat dan dianugerahi dengan bodi yang besar, dia salah satu striker yang bagus dari Tanah Papua pada saat itu," ujar mantan rekan setim Izaac, Nando Fairyo kepada awak redaksi berita olahraga INDOSPORT, Rabu (29/4/20).

Karier Izaac Fatari

Izaac Cornelis Fatari, lahir di Sorong, Papua Barat, 18 Februari 1973. Sejak kecil, ia telah akrab dengan sepak bola. Bermodal bakat alami, di usia 10 tahun, Izaac sudah memulai mengasah kemampuannya di sebuah klub lokal Kota Sorong, Kuripasai.

Berkat talentanya itu, Izaac terpilih masuk dalam PPLP Papua angkatan kedua, usai menamatkan pendidikannya di sekolah dasar, tahun 1987. Ia pindah ke Jayapura untuk melanjutkan pendidikannya di SMP 1 Jayapura Utara, sekaligus mengenyam ilmu di PPLP binaan HB Samsi dan Hengky Rumere.

Bakat besar Izaac Fatari kala itu kian terendus hingga ke Tanah Jawa. Lulus dari bangku SMP, Izaac bertolak ke Jakarta karena terpilih masuk dalam diklat Ragunan. Ketika di sana, Izaac dan beberapa remaja lainnya, mewakili Indonesia di sejumlah turnamen antar pelajar se-Asia, sejak berusia 16 tahun.

Tak pernah lupa dari mana ia berasal, usai menamatkan pendidikannya, Izaac lantas memutuskan untuk memperkuat tim sepak bola Papua pada perhelatan PON XIII di Jakarta tahun 1993. Ia bersama rekan jebolan PPLP Papua seperti Ferdinando Fairyo, Ritham Madubun, Zeth Rumaropen, Yohanis Bonay dan sederet nama lainnya sukses membawa pulang medali emas untuk Papua.

Sayang, Izaac tak ikut bermain di partai puncak menghadapi Aceh kala itu. Ia terkena sanksi usai membuat sebuah insiden di babak semifinal kontra Jawa Barat.

"Dia awalnya dari PPLP Papua, dan terpilih ke Ragunan, terus ikut main di kejuaraan Asia antar pelajar. Pas saat PON XIII baru dia ikut bergabung dengan kita. Cuma dia tidak sempat ikut main dengan kita di Persipura waktu membawa tim promosi dari divisi satu, karena kena skorsing sewaktu di semifinal PON XIII. Di Ligina I baru dia kembali bergabung," kenang Nando.

Setahun setelah Persipura promosi ke divisi utama, Izaac pun lantas kembali memperkuat tim berjuluk Mutiara Hitam itu di Ligina I tahun 1994/1995. Tapi, ia hanya sebentar bereuni dengan mantan rekan-rekannya semasa di PPLP Papua. Izaac dan kolega hanya bisa mengantarkan Persipura finis di peringkat ke-8 klasemen akhir.

Musim Ligina II 1995/1996, Izaac memilih hijrah ke Persma Manado. Di klub berjuluk Badai Biru ini, Izaac tak terlalu tampil dominan. Hanya saja, dirinya sempat menjadi bagian tim Persma ketika beruji tanding dengan klub elite Belanda, PSV Eindhoven yang masih diperkuat oleh bintang kelas dunia seperti Ronaldo Luiz Nazario dan Philip Cocu.

Setahun setelahnya, Izaac menyeberang ke Sulawesi Selatan dan memperkuat PSM Makassar. Tepatnya di Ligina III 1996/1997. Bersama PSM, penampilan Izaac cukup impresif. Ia membuktikan dirinya pantas menggantikan peran striker asal Brasil, Jacksen Tiago yang baru saja hengkang dari PSM.

"Dia teman baik saya, kita bermain bersama di PSM selama dua musim. Dia pemain yang kuat, kita berdua pernah menjadi top skor di turnamen di Bangladesh. Saya lupa berapa gol, waktu itu kita top skor bersama dan saya menjadi pemain terbaik," kenang rekan setim Izaac di PSM, Luciano Leandro.

Dalam debutnya, Izaac membukukan diri sebagai pencetak gol terbanyak wilayah timur, dengan total 14 gol. PSM juga berhasil diantarnya ke babak semifinal.  "Kita lawan Persebaya setelah passing dari saya dia langsung bikin gol fantastik di semifinal," ujar Luci.

Di musim berikutnya, Izaac kembali berseragam tim Juku Eja. Lagi-lagi, Izaac menjadi pencetak gol wilayah timur dengan 9 gol. Namun sayang, ia gagal membawa PSM juara di musim keduanya, lantaran kompetisi berhenti di tengah jalan akibat badai krisis moneter.

Tertimpa Musibah Naas

Usai kompetisi Ligina IV dihentikan, nama Izaac Fatari seolah menghilang. Sepak terjangnya tak lagi terdengar di jagad sepak bola tanah air. Izaac ternyata memutuskan pulang kampung, dan hanya membela klub asal tanah kelahirannya, Persiss Sorong tahun 1999. Ia kemudian melanjutkan kariernya sebagai pelatih tim sepak bola junior.

Agustus 2004 silam, saat hendak mengikuti kursus lisensi kepelatihan di Jakarta, legenda Persipura dan PSM ini tertimpa musibah naas saat menumpangi sebuah speed boat menuju bandara Jeffman.

Speed boat yang ditumpangi terbakar dan membuat nyawa Izaac dan belasan penumpang lainnya tak terselamatkan. Musibah itu terjadi, sesaat setelah dirinya sempat berbicara dengan sang istri melalui telepon selulernya. Izaac meninggalkan seorang anak yang masih bayi yang saat itu tengah bersama ibunya di Jakarta.

Kepergian Izaac itu masih sangat dikenang oleh Luciano Leandro yang menjadi rekan setimnya saat masih membela PSM. Luci juga merupakan sahabat karibnya.

"Kita sering bertemu sewaktu bermain bersama, dia orang yang suka ketawa, dia sering datang di rumah saya untuk melihat anak saya yang baru lahir," kenang Luci.

Pria asal Brasil ini seolah tak percaya mendengar kabar mengenaskan yang menimpa salah satu sahabatnya itu. Luci bahkan menuturkan, Izaac pernah bercerita kalau dirinya takut dengan ular dan kapal.

"Dia kasih tahu saya ada dua hal yang dia takut, dia takut sama ular dan kapal. Saya kaget waktu saya dengar dia meninggal di kapal," tutur Luci.

"Saya sangat sedih waktu mendengar kabar itu. Dia orang yang sangat dekat dengan saya dan keluarga," pungkasnya.

Andai saja Izaac Fatari tak pergi begitu cepat. Mungkin dari tangannya akan lahir banyak talenta sepak bola berbakat dari Tanah Papua. Izaac meninggalkan banyak cerita indah dalam sejarah sepak bola Indonesia.

5