Liga Indonesia

Psikis Masih Rentan, Pemain Muda Perlu 'Dicekoki' Wejangan Tanpa Henti

Sabtu, 19 Desember 2020 10:35 WIB
Editor: Indra Citra Sena
© PSSI
Laga internal game Timnas Indonesia U-19, Jumat (23/10/20). Copyright: © PSSI
Laga internal game Timnas Indonesia U-19, Jumat (23/10/20).

INDOSPORT.COM - Bukan rahasia lagi bila banyak pemain muda potensial Indonesia yang akhirnya gagal bersinar dan justru meredup sebelum periode usia emasnya habis akibat terjerumus ke hal-hal negatif, contohnya kehidupan malam serta salah menyikapi ketenaran.

Contoh terkini adalah dua pemain timnas Indonesia U-19 yang dicoret oleh pelatih Shin Tae-yong akibat melakukan tindakan indisipliner, Serdy Ephy Fano dan Yudha Febrian. Mereka kepergok sedang asyik dugem dan bermesraan dengan seorang gadis di kelab malam beberapa waktu lalu.

Selain itu, ada lagi yang sedikit lebih senior, Saddil Ramdani. Dia kerap kali bikin onar dan berurusan dengan kepolisian serta mengumbar kata-kata kasar sewaktu membalas komentar netizen di akun Instagram pribadinya, @saddilramdanii.

Kasus-kasus tersebut membuktikan bahwa pemain-pemain muda Indonesia, terlebih yang usianya di bawah 20 tahun, masih perlu didampingi oleh seorang psikolog untuk mengontrol tingkah laku dan kadar emosi mereka, baik di dalam maupun luar lapangan.

Sekadar mengingatkan, keberadaan psikolog di jajaran kepelatihan timnas Indonesia usia muda seperti U-16, U-19, dan U-22 sebenarnya pernah dilakukan di masa lalu, yakni oleh Fakhri Husaini di timnas Indonesia U-16 (2018) dan Indra Sjafri di timnas Indonesia U-22 (2019). 

Keduanya memaksimalkan jasa psikolog untuk membina mentalitas pemain muda masing-masing. Hasilnya, baik Fakhri Husaini maupun Indra Sjafri berhasil menjaga keharmonisan tim yang berujung prestasi membanggakan berupa trofi Piala AFF U-16 2018 dan Piala AFF U-22 2019.

Belakangan, peran psikolog menghilang di timnas Indonesia era Shin Tae-yong. PSSI bahkan diketahui belum ada pikiran untuk kembali mengulang metode Fakhri Husaini dan Indra Sjafri dalam waktu dekat.

Kondisi ini mengundang komentar dari pemilik salah satu klub Liga 3 asal Depok, Persipu FC, Andrew Baskoro Rusdy. Dia menilai keberadaan seorang psikolog sangat penting, terutama dalam sebuah tim yang materi skuatnya berisikan pemain-pemain muda.

'Kalau dibilang perlu ya memang perlu ada psikolog di setiap tim," kata Andrew Baskoro kepada redaksi berita olahraga INDOSPORT di Jakarta, Selasa (15/12/20).

"Tapi kan kembali lagi ke kebijakan masing-masing klub karena kan butuh biaya tambahan untuk itu. Biasanya klub Indonesia tidak memprioritaskan psikolog karena berpikir peran tersebut bisa diambil alih oleh pelatih," 

Sebagai pemilik klub yang sebagian besar penghuni skuatnya adalah pemain muda, Baskoro mencoba untuk sesering mungkin berbincang-bincang dengan pemain di luar lapangan. Dia terbiasa mendengarkan keluh kesah atau apa pun curhatan anak asuhnya sembari menyelipkan wejangan-wejangan.

"Obrolan dari hati ke hati itu penting ya. Satu hal yang selalu saya tekankan kepada pemain muda binaan saya adalah bijak dalam menggunakan media sosial karena di sana sebetulnya adalah cerminan dari dunia nyata," ujar Andrew Baskoro.

"Kita semua terbiasa menerapkan prinsip hablum minannas bagi yang beragama Islam. Artinya, kita diharuskan menjaga tutur kata ketika berkomunikasi dengan orang lain. Jangan sampai menyakiti. Kasus Saddil Ramdani menjadi pelajaran untuk seluruh pemain muda," jelasnya.

Mengenai kehidupan pemain muda di luar lapangan, Baskoro tidak masalah dengan apa pun yang dilakukan selama mereka bertanggung jawab dan memahami posisi sebagai pesepak bola profesional Persipu FC.

"Yang penting itu tahu tanggung jawabnya. Mau bandel ya terserah asalkan prioritas tetap tim. Jangan sampai sedang agenda pemusatan latihan menjelang kompetisi malah bertingkah seperti kasus dua pemain timnas Indonesia U-19 tempo hari," pungkasnya.