In-depth

Karier Kai Havertz Hancur Usai Bergabung dengan Chelsea

Kamis, 21 Januari 2021 11:35 WIB
Editor: Isman Fadil
© Twitter @kaihavertz29
Kai Havertz dalam laga debutnya bersama Chelsea melawan Brighton & Hove Albion di Liga Inggris. Copyright: © Twitter @kaihavertz29
Kai Havertz dalam laga debutnya bersama Chelsea melawan Brighton & Hove Albion di Liga Inggris.

INDOSPORT.COM - Bergabung dengan Chelsea dari Bayer Leverkusen dengan harga tinggi, Kai Havertz justru tampil mengecewakan.

Sama seperti kompatriotnya, Timo Werner yang belum menemukan performa terbaik bersama Chelsea, Kai Havertz seakan langsung terjun ke bawah tebing sejak ia mengenakan jersey klub London Barat.

Chelsea rela menghabiskan 89 juta euro (Rp1,54 triliun) untuk Havertz hanya mampu membuat satu gol dan 3 asis dari 16 pertandingan Liga Inggris musim 2020/2021. Apa yang terjadi dengan gelandang Timnas Jerman?

Media terkemuka Jerman, Bild, meyakini Kai Havertz sangat menyesal karena meninggalkan Leverkusen untuk bergabung dengan Chelsea.

"Kai Havertz mengutuk dirinya sendiri karena meninggalkan Leverkusen terlalu cepat untuk bergabung dengan Chelsea. Semuanya buruk. Tidak ada Natal, jauh dari rumah, bahkan tidak bermain piano. Itu hukuman yang terlalu berat untuk seseorang yang memiliki bakat seperti dia," tulis Bild.

Pelatih Chelsea, Frank Lampard mengungkapkan bahwa Havertz telah terinfeksi Covid-19 di awal musim. Hal itu yang membuat pemain 21 tahun menurun performanya ketimbang saat masih memperkuat Bayer Leverkusen.

"Fisiknya menurun, kami mencoba membantu mengatasinya. Bakat Havertz tidak perlu dipertanyakan, tapi dia butuh waktu untuk beradaptasi dengan Chelsea," kata Lampard dikutip dari Skysports.

Athletic mengungkapkan bahwa hal terburuk yang dapat terjadi pada atlet dengan infeksi Covid-19 adalah miokarditis (peradangan otot jantung), yang menyebabkan pensiun dini. Tapi bukan karena alasan Covid-19 penurunan Havertz, melainkan kemampuannya di lapangan.

"Saya bisa mengerti mengapa Chelsea membeli Havertz, tapi saya belum melihat ide konkret Lampard untuk itu. dia, "kata mantan pelatih Kai Havertz di Bayer Leverkusen, Peter Bosz.

"Membela Havertz seperti yang dilakukan Lampard adalah hal yang baik, tetapi pada akhirnya Havertz harus menunjukkan kemampuannya di lapangan. Biaya besar perlu dibuktikan menjadi gol atau asis, tapi Kai ai tidak bisa melakukannya," sambungnya.

Terlepas dari semua dukungan dari Chelsea dan penggemar, performa Havertz memang mengecewakan. Sebelum The Blues takluk 0-2 dari Leicester City, Havertz hanya cuma mendapatkan skor 5,9 poin dari Whoscored.

Ini adalah nilai terendah pemain kelahiran 1999 sejak awal musim, namun tidak terlalu mengejutkan para fans. Karena Havertz telah mempertahankan kualitas permainan yang tidak terlalu mengesankan sejak dia tiba di Stamford Bridge.

Havertz sempat bermain bagus saat Chelsea menghadapi West Brom, Crystal Palace, Southampton di Liga Inggris dan Krasnodar di Liga Champions. Saat itu, Lampard menempatkannya di posisi gelandang serang.

Kai Havertz diberikan kebebasan untuk memanfaatkan kemampuannya mencari ruang, menggiring bola, dan menyelesaikan menjadi gol maupun asis.

Tapi dalam bebeberapa pertandingan kemudian, Havertz  ditarik untuk bermain sebagai gelandang tengah. Athletic yakin ini adalah kunci penurunan permainan Havertz.

Sementara saat masih berseragam Bayer Leverkusen, Havertz menonjol di nomor 10 dalam formasi 4-2-3-1, gelandang serang 3-4-2-1, dan juga sebagai 'false nine'. Havertz diberikan keleluasaan memberikan tekanan pada pertahanan lawan dengan gerakan tanpa bola.

Di Chelsea, Lampard menarik Havertz ke peran nomor 8 dalam skuat. Dia harus membantu pertahanan sehingga bermain jauh dari gawang lawan. Pada puncak kariernya sebagai pesepakbola, Lampard memang pemain nomor 8 yang memiliki kemampuan tendangan jarak jauh, juga pintar mengatur tempo serangan.

Lampard mungkin ingin Havertz mewarisi posisinya sendiri di Stamford Bridge. Tapi semuanya tidak sesederhana itu. Havertz tidak cukup kuat untuk bermain terus menerus seperti Lampard di masa lalu. 

Chelsea musim 2020/2021 bukanlah tim seperti saat Lampard masih menjadi pemain. Mereka tidak memiliki pemain seperti Claude Makelele di posisi gelandang jangkar atau pemain berotot dan memiliki kekuatan fisik seperti Michael Ballack dan Michael Essien juga tidak ada di skuat saat ini.

N'Golo Kante kesulitan di Chelsea karena Lampard hanya ingin menggunakannya di posisi gelandang jangkar. Sedangkan Mateo Kovacic, Jorginho atau Mason Mount semuanya adalah pemain yang bukan mengandalkan kekuatan fisik.

Masalah Chelsea

Sejak akhir musim lalu, Lampard selalu menekankan faktor semangat juang menjadi titik lemah skuat Chelsea saat ini. Pelatih yang pernah memperkuat Manchester City itu mengeluhkan pemainnya yang kerap kehilangan konsentrasi setelah Chelsea ditahan 2-2 oleh Bournemouth pada akhir Februari tahun lalu.

"Menurut saya usia tidak penting di sini. Ini masalah konsentrasi. Chelsea harus fokus. Gol mengubah permainan, mengubah atmosfer di lapangan, para pemain harus berusaha lebih keras, lebih fokus, Kami telah menghadapi banyak situasi seperti ini dan banyak membicarakannya, Tetapi para pemain harus menemukan solusi di lapangan," ujar Lampard.

Sepuluh bulan kemudian, ketika Chelsea kalah dalam dua pertandingan berturut-turut melawan Everton dan Wolverhampton, Lampard juga mengeluhkan pemainnya yang tampil inkonsisten.

"Begitu para pemain berpikir mereka bermain bagus. Ha; ini (kegagalan) akan terus terjadi," kata Lampard.

Setelah hampir setahun, semangat Chelsea masih tidak berubah sama sekali meski sudah lebih dari 200 juta euro telah dikeluarkan. Mereka hanya memenangkan 1 dari 5 pertandingan terakhir, dan turun ke posisi 8 dalam klasemen.

Lampard pernah dianggap sebagai orang yang akan menularkan semangat positif kala menjadi pemain di skuat Chelsea yang dianggap tidak memiliki identitas yang kuat. Tapi dia belum berhasil dalam pekerjaan itu.

Lampard memboyong Thiago Silva, mantan kapten PSG, ke Stamford Bridge. Tapi Silva bukanlah bek yang menunjukkan otoritas dengan seluruh tim seperti John Terry di masa lalu.

Mantan bek AC Milan memiliki kendala di bahasa Inggris, sementara Chelsea membutuhkan seorang pemimpin yang tahu bagaimana berhubungan dengan rekan satu timnya dan merupakan perpanjangan tangan sorang pelatih.

Melihat perjuangan Kai Havertz, bisa dilihat gambaran umum Chelsea saat ini. Mereka memiliki kedalaman skuat yang berkualitas, spserti yang diakui Juergen Klopp, tetapi tidak memiliki sosok pemimpin di lapangan.

Sosok yang paling mengetahui kerasnya Liga Inggris dan Chelsea adalah Lampard. Namun sayangnya, pelatih berusia 42 tahun ini mengakui sudah pasrah jika dia harus melepaskan jabatannya sebagai pelatih kepala.

Sejumlah media Inggris yakin bahwa Chelsea sedang mempertimbangkan rencana memecat Lampard untuk mendatangkan Thomas Tuchel, atau Julien Nagelsmann, ke Stamford Bridge.

Pasalnya, bukan Kai Havertz saja yang kariernya menurun sejak bergabung dengan Chelsea di bawah kepemimpinan Frank Lampard.