In-depth

Final Liga Champions Man City vs Chelsea: Duel Taktik 'Striker Rasa Playmaker'

Jumat, 28 Mei 2021 13:55 WIB
Editor: Zulfikar Pamungkas Indrawijaya
© Grafis: Eli Suhaeli/INDOSPORT
Ilustrasi Taktik Sepakbola. Copyright: © Grafis: Eli Suhaeli/INDOSPORT
Ilustrasi Taktik Sepakbola.
Strikerku Adalah Playmakerku

Saat Jorginho terpilih menjadi top skor Chelsea di Liga Inggris dan ditanya bagaimana perasannya, ia hanya menjawab singkat dengan nada bercanda.

“Ayolah teman-teman. Saya tak bisa menjadi top skor untuk klub,” tutur Jorginho sembari tertawa.

Di sisi lain, Ilkay Gundogan menjadi top skor Man City di Liga Inggris sejak meningkatnya performanya pasca tahun baru 2021.

13 gol datang darinya dan menjadikannya top skor Man City di Liga Inggris, bukan para penyerang mahal yang didatangkan Man City.

Ini adalah kejadian menarik bagi Man City maupun Chelsea. Sejak 2021, kedua tim jarang memainkan penyerang murni dalam starting line up nya kendati punya penyerang murni.

Man City dipaksa memainkan skema tanpa penyerang karena cedera Sergio Aguero dan melempemnya performa Gabriel Jesus.

Sehingga Guardiola selaku pelatih memanfaatkan Kevin De Bruyne. Loh, kok De Bruyne? Bukannya Bernardo Silva atau Raheem Sterling?

Catatan membuktikan bahwa di empat laga Liga Inggris dan Liga Champions, De Bruyne memainkan posisi penyerang tengah.

“Tentunya saya punya beberapa pertandingan di sana (sebagai penyerang tengah). Tapi, bagaimana saya memainkan peran itu berbeda dengan bagaimana penyerang melakukannya,” tutur De Bruyne dikutip dari CBS Sports.

Memainkan playmaker di posisi striker menjadi alasan permainan Guardiola sulit ditebak dan dibendung. Bahkan terlihat bahwa pergerakan pemain Man City, terutama De Bruyne begitu fleksibel.

Di peran yang ia mainkan yakni 'striker rasa playmaker', De Bruyne mulai banyak bergerak mengisi lebar lapangan guna menarik bek lawan sehingga rekannya seperti Gundogan dapat masuk ke kotak penalti.

Secara statistik, di tiga laga terakhir Liga Champions sebagai penyerang, De Bruyne xG (Expected Goals) dan xA (Expected Assist) nya bernilai rata-rata 0.8 per 90 menit laga.

Sedangkan di Chelsea, peran ‘striker rasa playmaker’ ditunjukkan jelas saat Tuchel memainkan Kai Havertz. Beberapa kali, wonderkid Jerman ini dimainkan di posisi tersebut, termasuk di Liga Champions.

Contoh paling jelas terlihat saat leg kedua semifinal melawan Real Madrid. Havertz bermain begitu cair di posisi ‘striker rasa playmaker’ tersebut, posisi yang ia akui sangat cocok dengan gaya bermainnya.

“Saya terkadang memainkannya di Leverkusen. Saya tak seperti pemain nomor 9 asli. Saya seperti di tengah-tengahnya. Itu cocok denganku. Saya merasa percaya diri di posisi itu dan memiliki beberapa pertandingan yang hebat,” tutur Havertz/

Bagi Chelsea, Havertz bisa saja memainkan sosok penyerang sentral mengingat apiknya penampilannya baik dalam Hold Up Play dan Link Up Play.

Namun, statistik berkata lain. Saat berposisi sebagai penyerang tengah konvensional, Havertz hanya mampu membuat 0.77 peluang per 90 menit, berbeda saat dirinya memainkan peran sebagai ‘playmaker’ dari posisi penyerang tengah dengan raatan peluang 1.05 per 90 menit.

Dengan kata lain, permainan Man City dan Chelsea di final Liga Champions 2020/21 akan menjadi duel taktik ‘striker rasa playmaker’ itu.

Apakah seperti False Nine? Tak ada yang tahu selain Guardiola dan Tuchel sendiri. Namun, posisi ini memberi kebebasan baik bagi De Bruyne atau Havertz untuk mengeksplorasi kemampuan terbaiknya demi tim.

Menarik menanti bagaimana permainan yang ditampilkan Manchester City dan Chelsea. Akankah taktik ini akan kembali digunakan Pep Guardiola dan Thomas Tuchel kelak?