x

3 Dampak Buruk Bagi Serie A Jika Juventus Kembali Juara

Kamis, 15 Maret 2018 15:13 WIB
Editor: Prio Hari Kristanto

Juventus kembali menunjukan konsistensinya sebagai tim kuat di dataran Italia. Setelah menguasai Serie A selama enam musim beruntun, di musim ketujuh ini Juventus kembali menjadi kandidat kuat peraih mahkota juara Serie A. 

Sampai pekan ke-28, Juventus kokoh di puncak klasemen dengan 74 poin. Jumlah ini berselisih empat angka dari pesaing terdekat mereka, Napoli, yang baru mengoleksi 70 poin. 

Padahal, Napoli sebelumnya sempat lama memuncaki klasemen dengan selisih satu poin dari I Bianconeri. Sayang, Il Partenopei kepayahan di dua laga terakhir, masing-masing saat kalah 2-4 dari Roma di pekan ke-27, dan diimbangi Inter Milan di pekan ke-28.

Baca Juga

Pola seperti ini mirip seperti musim-musim sebelumnya di mana tim-tim seperti Inter dan Napoli tampil menjanjikan di awal hingga pertengahan musim, namun pada akhirnya melempem dan harus rela takhtanya direbut oleh Juventus.

Jika Juve tampil konsisten dan juara di akhir musim ini, maka mereka akan memecahkan rekor sebagai tim dengan tujuh mahkota juara beruntun yang dimulai dari musim 2011/12 hingga 2017/2018. Lalu, timbul pertanyaan, apakah hal ini dapat memberikan dampak buruk bagi Serie A? Jawabannya adalah 'Ya'. Berikut ini INDOSPORT telah rangkum tiga dampak buruk yang bisa diderita Serie A apabila Juventus kembali merengkuh gelarnya yang ketujuh secara beruntun.


1. Liga Menjadi Membosankan (Tidak Kompetitif)

Juventus merayakan kemenangan

Bundesliga dan Liga Italia merupakan contoh betapa membosankannya persaingan yang ada. Beda dengan Liga Inggris di mana tiga sampai empat tim memperebutkan posisi teratas bahkan hingga pekan-pekan akhir, maka di Jerman dan Italia hal itu menjadi berbeda. 

Di Jerman, Munchen menjadi tim paling dominan dalam enam tahun terakhir dengan lima gelar domestik beruntunnya. Harapan sempat datang ketika Dortmund menggebrak, tetapi hal itu tak berlangsung lama. Munchen sering sekali juara dengan selisih angka yang jauh dari peringkat kedua. 

Hal serupa juga terjadi di Italia. Walau lebih ketat dari Bundesliga, tetap saja ketika musim mulai memasuki seperempat jadwal terakhir, tifosi pun sudah bisa menebak siapa juaranya. Klub-klub seperti Inter, Roma, Napoli, dan Milan nyatanya masih belum bisa menandingi level Juventus. Bagi banyak penikmat bola tentunya hal ini akan membosankan dan bukan tidak mungkin mereka merasa muak dan tak bergairah menonton persaingan juara liga. Hanya perebutan slot Liga Champions, Liga Europa, dan perjuangan klub dalam menghindari degradasi saja yang bisa menyelamatkan reputasi liga.

Inter dan Milan dalam sebuah pertandingan Derby

Namun, tentu saja kita tidak bisa serta merta menyalahkan Juventus. Pesaing tradisional mereka dari kota Milan, Inter dan AC Milan, nyatanya memiliki masalah keuangan yang cukup akut untuk ukuran klub raksasa Eropa. Mereka tak bisa bersaing dengan Juventus yang memiliki neraca keuangan yang sehat. Dalam lima tahun terakhir dua tim ini tidak berani jor-joran soal transfer. 

Di luar awal musim ini, rerata pembelian Milan per musim hanya $40 juta, sedangkan Inter hanya $45 juta. Bagi dua tim sebesar Inter dan Milan angka ini tentu sangat kecil. Maka jangan harap mereka "serius" untuk mengejar Juventus.

Selain itu, jangan lupakan pula faktor Financial Fair Play (FFP). Pendapatan Milan dan Inter yang kecil membuat mereka (seandainya memiliki suntikan investor besar) tak bisa langsung membeli pemain melebihi pendapatan. Dengan pemasukan kecil, itu artinya pemain yang dibeli pun bukan pemain mahal. 


2. Tidak Menguntungkan Secara Finansial (Sponsor dan Rating TV Menurun)

Hasil pertandingan Serie A Italia.

Turunnya mutu kompetisi (dalam artian tingkat kemenarikan liga) bisa berdampak pada Rating TV dan masuknya sponsor. Kemeriahan Liga Inggris dan Spanyol yang ketat hingga akhir musim mengundang banyak sponsor dan rating TV yang tinggi. Duel El Clasico misalnya, bisa mengundang jutaan bahkan miliaran pasang mata di dunia. Terlepas dari keberadaan Messi dan Ronaldo, pertemuan Barca dan Madrid selalu berpengaruh terhadap peluang juara, sekecil apapun hasilnya.

Persaingan The Big 4 di Liga Inggris yang saling sikut menarik banyak pasang mata. Sementara itu di Serie A, hal ini tidak terlihat. Akibatnya, hanya suporter loyal saja yang mementingkan diri untuk menikmati pertandingan. Jika mutu kompetisi menurun, maka sponsor dan rating TV rendah, pada akhirnya akan berdampak buruk bagi finansial liga dan klub-klub di dalamnya. 

Berdasarkan data Forbes di akhir musim 2016, tercatat La Liga bisa meraup uang sekitar $1,7 miliar dan Serie A "hanya" mencapai $1,4 miliar. Pendapatan ini mencakup hak siar TV, hadiah kompetisi lokal dan non-domestik dan pemasukan tiket.

Sementara itu di Liga Primer Inggris yang jauh lebih kompetitif, khusus hak siar saja, mereka bisa meraih $ 2, 6 miliar dollar. Pendapatan hak siar ini pun nantinya dibagi rata lagi ke semua klub agar para klub tersebut bisa kembali bersaing secara kompetitif.  


3. Tenggelamnya Pemain-pemain Bintang

Ciro Immobile vs Mauro Icardi.

Pemain bintang seharusnya mampu menyemarakan liga. Namun. dengan dominasi yang terlalu kuat dari salah satu klub, maka hal itu bisa membuat pemain bintang lain tenggelam. Sebut saja nama-nama seperti seperti Icardi, Dzeko, Carlos Bacca, Ciro Immobile. Sehebat apapun cara mereka mencetak gol dan aksi yang dibuat, semua terasa tak berarti lagi karena lagi-lagi Juventuslah pusat perhatiannya. 

Serie A ItaliaAC MilanInter MilanJuventusAS RomaNapoliLazioLiga Italia

Berita Terkini