x

Mengisi Rapor Ketum PSSI, Bagaimana Caranya?

Selasa, 19 Februari 2019 17:36 WIB
Penulis: Annisa Hardjanti, Prio Hari Kristanto | Editor: Arum Kusuma Dewi
Logo PSSI.

INDOSPORT.COM - Sosok Edy Rahmayadi pernah menjadi begitu tenar di telinga masyarakat Indonesia. Apalagi kalau bukan karena perannya sebagai ketua umum PSSI.

Sebagai seorang Pangkostrad, Edy awalnya bukanlah sosok yang dikenal luas sampai akhirnya ia berkecimpung sebagai orang nomor satu di PSSI

Pada awalnya ia dianggap sosok ideal karena rekam jejaknya yang dinilai bisa membawa PSSI ke era baru. Namun, anggapan itu keliru, Edy Rahmayadi harus mundur sebelum masa jabatnya berakhir dengan diiringi polemik.

Baca Juga

Walau kurang populis, harus diakui bahwa Edy Rahmayadi mampu membelah opini publik.

Begitu banyak masyarakat yang menyatukan suara untuk memintanya mundur. Namun, seiring dengan terbongkarnya jaringan ‘mafia bola’ di tubuh PSSI, banyak yang mulai membela Edy dan menganggap dirinya bukanlah biang persoalan yang harus segera disingkirkan. Tagar #EdyOut berubah menjadi #EdyStay.

Berbeda dengan Nurdin Halid, Djohar Arifin, atau pun La Nyalla, Edy Rahmayadi adalah ketum yang tidak pernah terlibat kasus hukum. Ia juga tidak pernah membuat Liga Indonesia terpecah menjadi dua. Jika menganalogikan dengan ‘dosa’, mungkin ‘dosa’ Edy di PSSI tak sebesar tiga pendahulunya.

Bisa jadi inilah yang akhirnya membuat opini publik terbelah tentang dirinya. Lalu, bagaimana cara kita menilai rapor Edy Rahmayadi secara adil dan komprehensif?

Ketimbang menilai lewat subjektivitas semata, lantas apa yang sebenarnya mampu menjadi acuan bagi publik untuk tahu pertanggungjawaban Edy Rahmayadi dalam memenuhi tugasnya di PSSI?

Untuk menjawab hal ini, kami pun telah membuat analisis dan memutuskan untuk memilih tiga alat ukur atau Key Performance Indicator untuk menilai kinerja Edy secara komprehensif. Ketiga alat ukur itu adalah Statuta PSSI, Visi & Misi yang dibawa Edy, dan terakhir sekaligus terpenting penliaian Voters.


1. Statuta

Edy Rahmayadi mundur dari jabatan ketum PSSI.

Dalam Pasal 40 ayat 2, tercantum poin yang berkaitan dengan tanggung jawab seorang ketua umum dalam menjalankan tugas mereka. Keempat tanggung jawab itu adalah:

  1. Melaksanakan keputusan yang dikeluarkan Kongres dan Komite Eksekutif melalui Sekretaris Jenderal.
  2. Memastikan bahwa PSSI sebagai organisasi dapat mencapai tujuannya secara efektif sebagaimana diatur dalam Statuta.
  3. Melakukan pengawasan pekerjaan Sekretaris Jenderal.
  4. Memelihara hubungan baik antara PSSI dan para Anggotanya, FIFA, AFC, AFF serta badan pemerintahan dan organisasi-organisasi lainnya.

Jika menilik empat tanggung jawab yang ada di dalam statuta, maka ada satu poin yang bisa kita kritisi, yaitu poin kedua.

Baca Juga

Seperti yang kita tahu, PSSI di bawah Edy Rahmayadi gagal mencapai tujuannya. Apa itu tujuan PSSI? Tujuan PSSI adalah menjadi federasi yang bertanggung jawab membangun sepak bola Indonesia (menjadi) modern yang ditopang oleh organisasi yang dikelola secara profesional dan berorientasi pada kualitas dan prestasi tinggi.

Publik bisa menilai secara valid bahwa terdapat elite-elite di dalam PSSI yang telah bersikap tak profesional dengan terlibat kasus pengaturan skor yang mana sangat tabu di sepak bola. Dalam hal ini, Edy terbukti gagal memastikan PSSI telah mencapai tujuannya. 


2. Visi Misi

Edy Rahmayadi mundur dari ketum PSSI

Hal kedua yang bisa kita jadikan alat ukur dalam menilai keberhasilan seorang ketum PSSI tentunya adalah lewat janji-janji yang Edy sematkan pada visi misi saat ia mencalonkan diri.

Mari kita mengingat bagaimana visi misi yang dicanangkan oleh Edy Rahmayadi kala dirinya mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI.

Visi: PSSI yang profesional dan bermartabat dengan membangun sepak bola Indonesia yang jujur tanpa ada kepentingan politik. Membawa Indonesia tampil di Olimpiade 2024.

Misi: Fokus pada pembinaan sepak bola di usia dini dengan memperbanyak kompetisi di berbagai level. Membagi sepak bola Indonesia ke dalam tiga wilayah: timur, tengah dan barat agar bisa memaksimalkan pembinaan untuk penguatan tim nasional. Memperbaiki sistem data base pemain dari seluruh Indonesia. 

Baca Juga

Dari visi dan misi yang ia miliki saat menjadi ketum, ada sejumlah kegagalan yang patut untuk kita soroti. Pertama, Edy gagal membawa sepak bola Indonesia lepas dari kepentingan politik.

Ironisnya, Edy sendirilah yang mengingkari hal ini. Sebagai ketua umum PSSI sekaligus pembina PSMS Medan, ia akhirnya memutuskan untuk berpolitik praktis dengan menjadi Gubernur Sumatera Utara. Bahkan dirinya sampai ‘mengambil cuti’ sebagai ketum untuk berkampanye keliling Sumatera Utara.

Kemudian, Edy juga telah gagal menjaga martabat PSSI. Di eranya, sejumlah anggota Exco dan anggota Komdis menjadi tersangka kasus pengaturan skor.

Namun begitu, harus diakui bahwa di era Edy Rahmayadi pembinaan usia muda mengalami peningkatan.

PSSI mulai teratur menggelar kompetisi jenjang usia untuk para pemain muda. Pada musim 2018/19 ini, PSSI telah melangsungkan dua kompetisi usia muda, yakni Liga 1 U-16 2018, dan Liga 1 U-19 2018 yang digelar di seluruh wilayah utama Indonesia.

Penilaian Voters

Jika kita ingin mengevaluasi ketua umum PSSI, tentu saja kita harus mengikutsertakan juga para voters.

Voters merupakan aspek sentral dalam keberadaan seorang ketua umum PSSI. Voters adalah garda terdepan yang menentukan layak atau tidaknya seseorang menjadi ketua umum PSSI. Merekalah yang memilih ketua umum dalam sebuah Kongres Luar Biasa (KLB).

Hal ini sendiri diamini oleh PSSI. Menurut Media Officer-nya, Gatot Widakdo, baik ketua umum maupun Exco semua memiliki pertanggungjawaban jabatan kepada voters.

"Bahwa yang namanya exco dan ketua umum itu garisnya ke voters, ke member yang punya suara," ujar Gede saat diwawancara INDOSPORT, Rabu (13/02/19).

Lalu, bagaimana para voters menilai rapot seorang Edy Rahmayadi di kepemimpinannya sepanjang tahun 2016-2019?


3. 6 Kriteria Penilaian Voters

Esti Puji Lestari (CEO Persijap), Haruna Soemitro (Manajer Madura United), dan Gusti Randa (Exco PSSI).

Kami pun mewawancarai sejumlah voters terkait hal ini, termasuk CEO Persijap Jepara, Esti Puji Lestari, dan Manajer Madura United, Haruna Soemitro, sebagai perwakilan suara voters, dan juga Exco PSSI, Gusti Randa.

Menariknya, di antara voters sendiri diketahui tidak ada konsensus khusus mengenai ukuran ketua umum PSSI yang ideal. Bahkan, muncul kecenderungan ada subjektivitas dalam menilai kinerja Ketua Umum PSSI.

Esti Puji Lestari mengaku pernah membahas hal ini dengan para voters. Namun tidak ada jawaban pasti yang didapat.

"Tiap saya bicara dan membahas dengan teman-teman, Pak ini sebenernya calon Ketua PSSI yang tepat ini gimana? (mereka jawab) Ah kita mengikuti arus saja Bu," ujar Esti Puji Lestari kepada INDOSPORT, Rabu (13/02/19).

Baca Juga

Dari percakapan cukup panjang dengan mereka, kami pun telah merangkum sejumlah poin yang menjadi KPI seorang ketua umum di mata voters. Berikut ini adalah poin-poin yang telah kami susun (urutan acak dan tidak ada preferensi):

1. Seorang organisator ulung

2. Memiliki integritas dan kepercayaan publik yang tinggi

3. Visioner

4. Mematuhi statua PSSI

5. Berkomitmen penuh pada jabatan

6. Prestasi Timnas dan Liga yang berjalan baik

Voters menilai bahwa seorang ketua umum PSSI harus memiliki kemampuan kepemimpinan dan menjadi seorang organisator yang ulung. Bahkan, pengalaman di sepak bola adalah nomor kesekian.

Edy Rahmayadi adalah sosok jenderal dan tentunya merupakan organisator yang baik.

"Nah, kalau itu seorang jenderal, saya dulu sangat yakin sekali karena jenderal kan organisatoris ya, jenderal kan punya bawahan, struktur," ujar Esti.

Namun, dalam eksekusinya, terjadi sejumlah distorsi-distorsi. Edy dinilai voters kurang mampu mengontrol bawahannya. Bahkan banyak kongkalingkong yang dilakukan Exco yang Edy gagal mengetahui.

"Namun sayangnya orang yang di bawah adalah orang sipil. Di mana mereka tidak punya respek terhadap struktur," kata Esti.

Untuk poin kedua, Edy Rahmayadi juga dinilai gagal menjadi pemimpin yang berintegritas tinggi sekaligus memiliki kepercayaan publik yang kuat.

Menjelang Edy mundur, terjadi tekanan luar biasa dari publik agar mantan Pangkostrad itu segera mundur dari kursi Ketum PSSI lantaran prestasi Timnas yang buruk dan keputusan Edy menjadi Gubernur Sumatera Utara.

Itu artinya, publik tidak percaya lagi dengan kemampuan Edy dalam menakhodai PSSI.

Pada poin ketiga soal ketua visioner, Edy Rahmayadi sejatinya adalah sosok ketua yang visioner. Ia memiliki target-target bagus yang cukup masuk akal bagi sepak bola Indonesia.

Salah satunya tentu saja diawali dengan mendatangkan pelatih berkelas selevel Luis Milla.

Edy pun ingin agar Timnas Indonesia memiliki kiblat permainan Spanyol ala Luis Milla.

PSSI di bawah Edy juga merumuskan Filanesia (Filosofi Sepak Bola Indonesia) yang dituangkan ke dalam buku Kurikulum Pembinaan Sepak Bola Indonesia.

Edy juga menargetkan timnas berprestasi di Asian Games dan Piala AFF. Terlepas dari hasil yang dicapai, rencana-rencana yang digagas Edy sejatinya cukup baik. Untuk poin ini, Edy termasuk berhasil menjadi sosok ketua visioner.

Untuk poin keempat, Edy mampu memenuhinya dengan cukup baik. Dari sisi statuta, Edy Rahmayadi nyatanya tak melanggar pasal-pasal yang ada. Bahkan, larangan rangkap jabatan yang dilakukan Edy pun tak dilarang dalam statuta PSSI.

Di aturannya, seorang ketua umum baru bisa diturunkan apabila ia melanggar aturan-aturan statuta PSSI yang mengatur ketua umum.

"Kalau mau impeachment (pemakzulan) ketua umum itu standarnya adalah statuta," ujar Manajer Madura United, Haruna Soemitro, kepada INDOSPORT, Rabu (13/02/19). 

Setelah dua keberhasilan beruntun, Edy Rahmayadi mengalami kegagalan luar biasa pada poin kelima, mengenai komitmen penuh pada jabatan.

Di masa jabatannya sebagai Ketum PSSI, Edy memutuskan untuk terjun ke politik praktis menjadi Gubernur Sumatera Utara.

Hal ini pun mengundang protes besar dari masyarakat dan juga voters. Edy dinilai tak berkomitmen penuh pada jabatannya sebagai Ketum PSSI.

Pada akhir 2018 lalu Edy 'resmi' meninggalkan kantor pusat PSSI di Jakarta dan berkantor di Sumatera Utara. Padahal, di masa jabatannya, PSSI sedang dalam titik nadir setelah meledaknya kasus pengaturan skor.

"Begitu Pak Edy memilih pilihan politiknya menjadi gubernur, ini menjadi sulit. Faktanya Sumatera Utara dan Jakarta itu jauh," kata Haruna Soemitro.

"PSSI membutuhkan control day by day, minute by minute, jam per jam yang hari-harinya pasti akan punya masalah yang harus disentuh langsung," tambah Haruna. 

Edy Rahmayadi kemudian juga gagal memenuhi poin keenam pada tolak ukur keberhasilan ketum PSSI menurut voters. Soal prestasi Timnas dan penyelenggaraan liga, PSSI di bawah Edy Rahmayadi gagal memenuhi banyak target.

Misalnya, di level tim nasional, Timnas Indonesia baik di level U-23 dan senior gagal mencapati target. Di Asian Games 2018 mereka hanya mentok di babak 16 besar. Padahal target adalah semifinal.

Kemudian di Kejuaraan Piala AFF 2018, Timnas Garuda bahkan menderita lebih parah lagi usai tak mampu lolos dari babak penyisihan grup. Padahal targetnya adalah juara. Hanya Piala AFC U-16 yang mampu memenuhi target juara.

Untuk penyelenggaraan liga sendiri masih terlalu banyak celah yang membuat kita ragu untuk menyebut PT LIB dan PSSI telah sukses menjalankan tugasnya.

Di level Liga 2 yang diselenggarakan oleh PSSI, terbongkar kasus pengaturan skor yang melibatkan sejumlah klub seperti PS Mojokerto Putra.

Sementara di Liga 1, walau berhasil menjalankan liga, namun nyatanya terjadi ketidakprofesionalan di sana sini. Mulai dari jadwal yang sering berubah-diubah, pertandingan yang diundur sampai jadwal liga yang bentrok dengan Piala AFF 2018. Liga 1 sendiri menjadi satu-satunya liga yang masih berjalan di Asia Tenggara saat Piala AFF 2018 berlangsung.

Teranyar, pada awal tahun 2019, klub Persija Jakarta tak bisa memainkan pemain asing barunya di kualifikasi Liga Champions Asia lantaran jendela transfer liga yang belum dibuka. Tentunya semua ini adalah kesalahan PSSI dan PT LIB yang tak mampu membuat jadwal yang sinkron dengan agenda yang sudah ada di level Asia.

Beberapa hal serupa juga masuk dalam penilaian yang diberikan oleh pandangan seorang Gusti Randa saat diwawancarai oleh INDOSPORT pada Jumat (15/02/19) lalu.

Melihat dari bagaimana Edy Rahmayadi sebelumnya mengedepankan visi Profesional dan Martabat bagi PSSI, Gusti menilai bahwa salah satu dari keduanya telah berhasil dipenuhi oleh Edy.

“Dari segi profesionalisme, Pak Edy sudah memenuhinya ya kalau saya pikir,” ujar Gusti.

Hal tersebut berhubungan dengan peningkatan profesionalisme PSSI dalam mengatasi masalah perwasitan hingga masalah finansial, baik federasi hingga klub yang ada kini.

Tapi, kalau dari segi martabat, memang Gusti sendiri tak menampik bahwa Edy belum memenuhi poin tersebut secara utuh. Hal itu berkaitan dengan belum terselesaikannya masalah pengaturan skor yang menghantui sepak bola Indonesia.


4. Kesimpulan

Edy Rahmayadi Mengundurkan diri jadi Ketua PSSI.

Dari tiga alat ukur yang kita bahas di atas, maka bisa kita ketahui bahwa Edy Rahmayadi ternyata tidak bisa terhindar dari catatan minor.

Pertama, berdasarkan statuta, Edy gagal memenuhi satu dari empat butir tanggung jawab sebagai ketum.

Kedua, dari sisi visi & misi, Edy gagal menjalankan janjinya untuk memisahkan sepak bola dengan politik serta menjaga martabat PSSI.

Baca Juga

Terakhir, dari alat ukur penilaian voters, Edy bahkan mendapat lebih banyak catatan minor. Tercatat, dari enam poin penilaian voters yang berhasil kami susun, Edy hanya berhasil memenuhi dua di antaranya.

Dari hasil pengukuran-pengukuran ini, maka bisa disimpulkan bahwa selama hampir empat tahun kepemimpinannya, Edy Rahmayadi memiliki rapor merah dan bisa dikategorikan gagal dalam mengemban tanggung jawab sebagai ketua umum PSSI.

Terus Ikuti Berita Sepak Bola Liga Indonesia Lainnya Hanya di INDOSPORT

FIFAPSSIEdy RahmayadiLiga Indonesia

Berita Terkini