In-depth

Masalah SEA Games yang Jadi Cerita Lama dari Tahun ke Tahun

Senin, 2 Desember 2019 16:52 WIB
Penulis: Prio Hari Kristanto | Editor: Arum Kusuma Dewi
© Grafis: Indosport.com
Masalah SEA Games dari tahun ke tahun. Copyright: © Grafis: Indosport.com
Masalah SEA Games dari tahun ke tahun.

INDOSPORT.COM - SEA Games 2019 Filipina akhirnya resmi dibuka di Philipine Arena, 30 November 2019 lalu. Ajang multi-event terbesar di Asia Tenggara itu akan dilangsungkan sampai 11 Desember 2019 mendatang.

Pada SEA Games 2019, Indonesia turut berpartisipasi dengan bertanding di 52 cabang dengan membawa kontingen berjumlah 1.303 (841 atlet, 256 pelatih dan ofisial, dan sisanya ofisial mandiri, ekstra ofisial, plus headquarter).

Menyambut SEA Games 2019, Indonesia ternyata tak luput dari sejumlah persoalan. Dalam menghadapi SEA Games edisi ke-30 ini Indonesia dirundung isu pendanaan.

Berbeda dengan anggaran tahun 2018, di tahun 2019 ini pemerintah mengerem pengeluaran di sektor olahraga termasuk dana pelatnas SEA Games.

Setelah dipotong untuk National Paralympic Committee (NPC) dana bersih untuk Pelatnas SEA Games 2019 hanya sebesar Rp273 miliar. Jumlah ini lebih rendah ketimbang pelatnas tahun lalu yang mendapat dana bersih mencapai lebih dari Rp500 miliar .

Minimnya anggaran dari pemerintah pun berimbas pada persiapan atlet-atlet jelang SEA Games 2019. Banyak dari PB yang mendapatkan dana jauh lebih kecil dari proposal yang diajukan seperti PB PASI (atletik) dan PB ISSI (sepeda).

Tak hanya itu, dana pelatnas juga berulangkali mengalami kendala dalam proses pencairan. Proposal pengajuan anggaran dari induk olahraga bolak-balik mesti direvisi.

Hal ini akhirnya mempengaruhi persiapan cabor dalam menyambut SEA Games 2019. Sebagian cabor terpaksa mengundur waktu pelantas menunggu pencairan dana.

Cabor catur bahkan pada Agustus lalu harus menghentikan pelatnas karena dana yang belum cair. Begitu juga dengan Wushu yang sempat mengeluhkan pencairan tahap kedua anggaran pelatnas sebanyak 30 persen pada awal November lalu.

Cerita Lama

Persoalan dana memang menjadi permasalah klasik yang dialami Indonesia tiap jelang SEA Games. Jika bukan menjadi tuan rumah, Indonesia memang tak memiliki target tinggi di ajang dua tahunan tersebut.

Hal ini terlihat setidaknya pada SEA Games 2013, 2015, dan 2017. Pada 2011 sendiri Indonesia menjadi tuan rumah dan keluar sebagai juara.

Pada gelaran SEA Games 2013, Indonesia sempat mengalami defisit dana SEA Games yang kala itu dilangsungkan di Myanmar. Dana sebesar Rp250 miliar yang dialokasikan tidak mencukupi.

Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) berusaha keras untuk mencari sponsor senilai Rp60 miliar untuk memenuhi kebutuhan pelatnas. Sama seperti 2019 ini, kala itu PB-PB juga diminta untuk mencari dana tambahan sendiri.

Bahkan, menjelang event, sempat tersiar kabar pencoretan sejumlah cabang untuk menghemat dana. Namun kabar ini akhirnya tak terbukti kebenarannya.

Ada sejumlah insiden ketika perlombaan berjalan. Saat itu, tim futsal Tanah Air sempat berpolemik masalah uang saku. Manajemen terpaksa memotong uang saku untuk menutup biaya perjalanan mandiri sejumlah staf kepelatihan yang tak dibiayai Satlak Prima.

Bergeser ke edisi 2015, masalah serupa juga kembali muncul. Pada SEA Games yang diselenggarakan di Singapura ini, Indonesia hanya mampu meraih 47 medali emas dan harus puas duduk di posisi kelima.

Perolehan ini sempat jadi yang terburuk sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia di SEA Games. Kegagalan pun sejatinya sudah bisa diprediksi.

Indonesia kembali harus terkendala anggaran. Pembinaan yang dilakukan pun hanya mengejar target instan (non-jangka panjang).

Untungnya muka Indonesia diselamatkan oleh cabor dayung (kano, rowing, dan perahu naga) yang menyumbang emas terbanyak dengan 12 medali. 

Kegagalan total ini menampar pemerintah yang kala itu menargetkan posisi runner-up dengan 76 medali emas.

Tanda-tanda kegagalan ini bukan hanya soal persiapan yang buruk, tetapi juga salah dalam penentuan target. Satlak Prima hanya mampu meraih target realistis 46-54 emas, sementara KOI menginginkan 76 medali emas.

Kegalalan Indonesia di SEA Games 2013 dan 2015 juga masih dirasakan di SEA Games 2017. Kontingen Indonesia gagal total usai hanya mampu duduk di posisi kelima dengan 38 emas.

Torehan ini jauh dari target yang diharapkan yakni mendulang 55 emas. Tak hanya jadi pencapaian terburuk Indonesia di sepanjang sejarah SEA Games, edisi 2017 juga diwarnai oleh keluh kesah atlet.

Salah satunya adalah soal tak kunjung cairnya uang saku dan akomodasi. Atlet pun harus merogoh kocek pribadi.

Atlet tolak peluru peraih medali emas, Eki Febri Ekawati, pernah menuliskan status kritikan kepada pemerintah di Instagram pribadinya.

"Uang akomodasi (makan, penginapan, dll) belum juga dibayar dari bulan Januari sampai Agustus, padahal Sea Games 2017 sudah hampir selesai," tulisnya kala itu.

Tersendatnya pencairan dana juga turut dirasakan. Dari total Rp41,5 miliar, KOI baru menerima Rp30,5 miliar.

Kini, di SEA Games 2019 Filipina, tanda-tanda kegagalan pun sudah tercium. Seperti edisi-edisi sebelumnya, masalah pendaan yang minim serta proses pencairan yang terhambat juga masih dirasakan.

Belajar dari masa lalu, maka sepertinya kita tak bisa berharap banyak pada prestasi kontingen Indonesia di SEA Games 2019 kali ini.