In-depth

Bedah Undang-undang yang Jadi Dasar Polemik KPAI dan PB Djarum

Senin, 23 September 2019 16:59 WIB
Penulis: Juni Adi | Editor: Arum Kusuma Dewi
© INDOSPORT
KPAI vs PB Djarum Copyright: © INDOSPORT
KPAI vs PB Djarum

INDOSPORT.COM - Perseteruan PB Djarum dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) rupanya telah berlangsung sejak satu tahun terakhir.

Ketika itu KPAI pertama kali melayangkan teguran kepada PB Djarum, yang menggelar audisi umum beasiswa bulutangkis pada Oktober 2018.

Inti isi surat tersebut KPAI menyatakan keberatan, kalau peserta diwajibkan menggunakan baju bertuliskan Djarum Badminton Club di bagian dada mereka, karena dianggap promosi terhadap brand image perusahaan rokok.

Hal tersebut menurut KPAI adalah bentuk eksploitasi terhadap anak.

Padahal anak-anak usia di bawah 18 tahun harus dijauhkan dari keterpaparan rokok, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Peraturan Pemerintah Nomor 109 (tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan) Tahun 2012.

Menurut pasal 35 Ayat (1) huruf c peraturan tersebut, pengendalian promosi produk tembakau dilakukan dengan tidak menggunakan logo dan/atau mereka produk tembakau pada suatu kegiatan lembaga dan/atau perorangan.

Sedangkan pasal 37 menyatakan sponsor industri rokok hanya dapat dilakukan dengan tidak menggunakan nama merek dagang, dan logo produk tembakau termasuk ‘brand image’ produk tembakau.

Pasal 47 bahkan secara gamblang menyatakan setiap penyelenggara kegiatan yang disponsori produk tembakau dan/atau bertujuan untuk mempromosikan produk tembakau, dilarang mengikutsertakan anak di bawah usia 18 tahun.

Ditambah dengan adanya hasil riset yang menunjukkan korelasi positif antara iklan rokok dengan tingkat penggunanya di masyarakat. Berangkat dari undang-undang dan riset tersebut, KPAI lantas menegur PB Djarum.

“Pembuktian Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 tentang keterpaparan anak pada rokok adalah 7,2 persen. Terdapat korelasi akibat paparan iklan, dibuktikan dengan hasil Riskesda Tahun 2018 menjadi 9,2 persen padahal targetnya adalah 5,4 persen,” jelas Komisioner KPAI, Sitti Hikmawatty kepada redaksi berita olahraga INDOSPORT.

"KPAI memanggil Djarum pertama kali Oktober tahun 2018, setelah ada pembuktian riset ini serta adanya laporan dari 10 LSM. Dan menyampaikan arahan-arahan untuk dilakukan perbaikan setelah itu," paparnya.

Namun pihak PB Djarum, melalui Direktur Program Bakti Olahraga Djarum Foundation, Yoppy Rosimin membantah dugaan adanya eksploitasi.

Menurutnya, PB Djarum adalah klub di bawah naungan Yayasan Djarum Foundation bukan perusahaan produk rokok melainkan penghasil atlet andal.

"Kita pernah bertemu dengan KPAI. Pertama kali tahun 2018 setelah audisi final di Kudus, kita dipanggil KPAI," kata Yoppy.

"Dengan memasang logo Djarum Badminton Club di tubuh anak, dianggap mengeksploitasi anak. Itu kita diskusi, kita punya pendapat beda dengan KPAI. Bahwa itu bukan produk rokok, itu nama klub kita," imbuhnya.

© Juni Adi/INDOSPORT
Sitti Hikmawatty komisioner KPAI Copyright: Juni Adi/INDOSPORTSitti Hikmawatty komisioner KPAI

Namun pihak KPAI bersikukuh kalau tulisan Djarum di baju para peserta identik dengan produk rokok sehingga perlu dievaluasi.

"Djarum itu merek dagang (rokok), dan itu tidak boleh ada di tubuh anak. Melanggar pasal 35, 37, dan 47 PP Nomor 109 Tahun 2014 (tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan) Tahun 2012," jelas Sitti.

"Kalau kita tidak tegur, akan ada produk-produk yang mengandung zat adiktif melakukan kegiatan serupa seperti minuman bir foundation, Anker Foundation."

"Kita juga menanyakan kepada anak-anak untuk meyakinkan survei yang dilakukan di 28 provinsi, dengan pertanyaan, kalau ada statement Djarum, apa yang ada dalam benak kalian? Sekitar 1 persen anak mengatakan Djarum itu jarum jahit, 31 persen mengatakan Djarum dalam konteks itu adalah audisi beasiswa bulutangkis dan 68 persen ini mengatakan rokok," ungkpanya.

perbedaan pandangan ini yang membuat polemik keduanya belum juga menemui titik temu. Dilihat dari aspek yuridis, kita bisa dapat gambaran yang obyektif.

Djarum Foundation sangat berbeda dengan PT Djarum. Yang satu yayasan, dan yang satunya adalah perusahaan rokok.

"Polemik PB Djarum dengan KPAI ini kan terjadi sudut pandang yang beda. Yang satu melihatnya sebagai sebuah klub, dan yang satunya melihat sebuah brand. Nah, ini mesti diluruskan," kata mantan atlet bulutangkis sekaligus pengamat, Yuni Kartika ketika dihubungi INDOSPORT.

"Djarum Foundation sendiri sudah ada undang-undangnya yang mengatur, bahwa ini adalah yayasan sosial, dengan nama PB Djarum. Dan harusnya tidak ada sangkut pautnya dengan brand image rokok," ujarnya.

Yayasan Djarum diatur dalam Undang-Undang No 28 tahun 2004 perubahan dari Undang-Undang No 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Sementara PT Djarum, diatur dalam Undang-undang Perseroan Terbatas.

Dalam Undang-Undang Yayasan, dijelaskan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanuasiaan yang tidak mempunyai anggota.

Kemudian berdirinya suatu Yayasan dijelaskan harus memperoleh status badan hukum, dari Menteri Hukum dan Ham. Setelah disahkan, lalu diberi akta pendirian.

Maka, secara yuridis, PT Djarum dan Yayasan Djarum adalah dua entitas berbeda karena PT Djarum diatur dalam Undang-Undang Perseroan, sementara Yayasan Djarum tunduk pada rezim Undang-Undang Yayasan.

Lantas siapa yang mempunyai kewenangan untuk menentukan perbedaan pandangan tersebut? Jawabanya adalah Kementerian Hukum dan HAM, karena yang mengesahkan status badan hukum suatu yayasan adalah Menteri Hukum dan HAM. Bukan lembaga atau perorangan.

"Kalau melihat dari undang-undang yayasan, saya melihatnya PB Djarum tidak melakukan kesalahan dalam hal ini. Tapi sekali lagi ini harus dikembalikan lagi ke Kemenkum HAM, untuk menentukan perbedaan," tukas Yuni.