x

Sektor Tunggal Bulutangkis Sulit Juara, Kapan 'Kemarau Panjang' Itu Berakhir?

Jumat, 18 November 2016 15:00 WIB
Penulis: Petrus Manus Da' Yerimon | Editor: Galih Prasetyo

Pada turnamen China Open Super Series Premier 2016, yang tengah berlangsung saat ini. Memasuki fase delapan besar atau perempatfinal, kembali, nomor ganda bulutangkis Indonesia yang mendominasi.

Dari nomor tunggal putra, tidak ada nama Jonatan Christie, Ihsan Maulana ataupun Antoni Ginting yang diturunkan. Hanya ada Sony Dwi Kuncoro dan Tommy Sugiarto, atlet luar Pelatnas yang turut ambil bagian, meskipun gagal melangkah lebih jauh.

Hal yang sama juga terjadi di sektor tunggal putri, tidak terlihat wakil Indonesia pada kejuaraan tersebut. Sepanjang 2016 ini, di nomor tunggal baru tercatat nama Sony Dwi Kuncoro yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di Singapura Open April lalu.

Setelahnya, tidak ada lagi lagu Indonesia Raya yang berkumandang di kejuaraan bulutangkis internasional. Keadaan tersebut tersebut pun membuat salah satu legenda hidup bulutangkis Tanah Air, Susy Susanti angkat bicara. Ia menilai bahwa saat ini Indonesia memang cukup tertinggal prestasinya di sektor tunggal putra dan putri.

“Memang saat ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar untuk ditunggal putra dan putri. Untuk putri, kita sangat tertinggal dengan negara lain. Kita harus mempercepat regenerasinya, karena saat ini kita hanya mengandalkan di nomor ganda,” ujar mantan ratu bulutangkis Indonesia tersebut.

Tunggal putri sendiri bahkan terlihat seperti mati suri dalam hal prestasi di tahun ini. Belum ada pebulutangkis dari Pelatnas Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) yang namanya mencuat ataupun sekedar memberikan kejutan di berbagai turnamen yang telah berlangsung.

Melihat fenomena di atas, INDOSPORT kemudian mencoba menjabarkan kepada pembaca setia, beberapa alasan sektor tunggal putra dan putri Indonesia belum juga menunjukan kemilaunya: 


1. Progres tunggal putra menjanjikan

Ihsan Maulana Mustofa vs Anthony Sinisuka Ginting

Pada turnamen Jerman Open awal November ini, tunggal putra sebenarnya mampu melangkah cukup jauh hingga babak perempatfinal. Sayangnya. Jonatan Christie saat itu harus mengakui keunggulan wakil China, Shi Yuqi dengan skor 21-16, 14-21, dan 14-21.

Sepak terjang dari para pemain muda di sektor tunggal putra yang berada di Pelatnas, Cipayung sebenarnya tidak terlalu mengecewakan. Kemampuan Ihsan Maulan, Anthony Ginting, dan Jonathan Christie disebut sudah jauh meningkat. 

Mereka bahkan mampu bersaing di kejuaraan bulutangkis dengan level tertinggi, bintang enam seperti di Indonesia Open Super Series 2016 lalu. Saat itu, Jonatan memberikan kejutan dengan mengalahkan pebulutangkis papan atas, Lin Dan. Sementara itu Ihsan Maulan bahkan mampu menembus semifinal sebelum dikalahkan oleh Lee Chong Wei.

“Kalau tunggal putra sebenarnya sudah jauh meningkat, ada Anthony Ginting, Ihsan Maulana, dan Jonatan Christie yang sudah bisa mengalahkan pemain top,” ujar mantan pemain bulutangkis dan juga Humas PBSI, Yuni Kartika kepada INDOSPORT.

“Tetapi, memang mereka harus butuh pengalaman bertanding yang lebih banyak, agar lebih matang. Namun, dari segi kualitas mereka sudah bisa mampu bersain, pekerjaan rumah kita adalah membantu mereka untuk meningkatkan pengalaman bertanding dan bagaimana membuat mereka bisa menahan emosi,” jelasnya lebih detail.

Apa yang disampaikan Yuni Kartika memang cukup beralasan. Ketiga pemain muda, baik Jonatan, Ginting dan Ishan, sempat berada di peringkat 20 besar dunia. (Saat ini hanya Jonatan dan seniornya Tommy Sugiarto yang ada di 20 besar. sedangkan Ihsan dan Ginting di 30 besar).


2. Tunggal Putri Masih Mati Suri

Hanna Ramadini

Jika di sektor tunggal putra peningkatan yang dialami cukup siginifikan, maka hal sebaliknya terjadi di tunggal putri. Para atlet di nomor ini masih belum juga menunjukkan tajinya. Para pemain muda seperti Fitriani, Hanna Ramadini, hingga Gregoria Mariska belum bisa tampil maskimal.

Saat ini hanya tercatat nama Maria Febe Kusumastuti yang peringkatnya masih jauh di atas rekannya yang lain, yakni di urutan 35 dunia. Namun, Febe saat ini dikabrkan sudah resmi pensiun dari dunia bulutangkis seperti yang diungkapkannya di akun Instagramnya.

Praktis hal itu hanya menyisakan Lindaweni Fanetri sebagai senior di Pelatnas PBSI di Cipayung, Jakarta Timur. Pemain yang tampil di Olimpiade 2016 lalu di Rio de Janeiro, Brasil itu terakhir kali meraih medali perunggu pada kejuaraan dunia di 2015 lalu. Saat ini Lindaweni berada di peringkat 38 dunia.

Belum mampu bersaingnya tunggal putri di kancah dunia pun diakui oleh pihak PBSI. Menurut ketua bidang Humas dan media sosial, Yuni Kartika yang juga merupakan seorang mantan pebulutangkis,ada berbagai faktor yang menyebabkan tunggal putri Indonesia belum bisa berbicara banyak ataupun menunjukkan progres yang menanjak.

“Kalau tunggal putri memang masih banyak pekerjaan rumah, diantaranya perlu banyak mencari bibit pemain muda. Untuk ranking, kita masih jauh di bawah, dibandingkan sektor tunggal putra,” tuturnya kepada INDOSPORT.

Menurut Yuni salah satu hal yang cukup berpengaruh menghambat perkembangan di sektor tunggal putri adalah tidak ada sosok juara yang bisa dijadikan panutan atau menjadi acuan. Selain itu, kurangnya bibit muda di tunggal putri juga disebabkan karena minat yang menurun dari anak muda akibat perkebangan teknologi.

“Di tunggal putri tidak ada acuannya, berbeda dengan ganda karena ada Hendra/Ahsan, maupun Owi/Butet. Dahulu di era saya , kita selalu punya panutan sosok yang bisa menjadi motivasi, seperti Susy Susanti dan lainnya. Ini yang saat ini tidak terlihat di Pelatnas,” beber Yuni Kartika.

“Sebenarnya klub-klub memang rajin mencari bibit baru tetapi memang mereka lebih banyak dapat putra. Ini yang jadi pertanyaan, mungkin sekarang dengan bergagai kemajuan teknologi sehingga membuat mereka anak muda kurang berminat main bulutangkis, saya melihatnya seperti itu,” tutur Humas PBSI tersebut.  

Di sisi lain Yuni Kartika juga menjelaskan bahwa pebulutangkis di tunggal putri juga masih memiliki banyak kekurangan. Ada tiga faktor yang disebut sangat berperan penting dalam karier pemain, dan saat ini masih belum dimiliki secara utuh oleh pebulutangkis Tanah Air khusunya di tunggal putri.

“Hal yang penting adalah latihan fisik, teknik dan kecepatan karena pemain dunia di tunggal putri, saat ini bisa sanggup bermain dalam tempo yang lama dengan kecepatan yang stabil. Ini yang kita belum punya,” ungkap wanita 43 tahun itu.

“Memang harus ditambah, tetapi tidak bisa signifikan, harus sesuai target dan porsinya. Disini mereka harus mengejar para pemain yang ada di level dunia,” usai ibu dari tiga anak itu.


3. Kerja semua pihak

Juara Olimpiade 1992, Susy Susanti

Masih melempemnya pretasi dari tunggal putra dan putri Indonesia ini pun mendapatkan tanggapan dari juara Olimpiade 1992, Susy Susanti. Ia menilai bahwa harus ada perhatian dan kerja keras yang ekstra dari pihak terkait.

Selain itu, para pemain juga diminta untuk  menjaga disiplin dan tetap menjaga komitmen serta tanggung jawabnya sebagai seorang atlet. Jika hal tersebut benar-benar dilaksanakan buka tidak mungkin sektor tunggal putra dan putri Indonesia akan meraih kembali kejayaannya.

“Harus ada perhatian dan kerja keras yang ekstra untuk mempercepat prestasi. Pemain muda kita belum maksimal, mungkin 1-2 tahun ke depan baru akan terlihat hasilnya,” ujarnya kepada INDOSPORT.

“Selain itu, pemain harus punya kesadaran. Bukan hanya berlatih tetapi juga dalam menjaga disiplin dan tanggung jawab karena untuk juara itu ada prosesnya sangat panjang dan berat. Harus ada komitmen dan mulai merubah mind set-nya. Mulai memotivasi diri, harus ada kemauan setelahnya tanggung jawab dan disiplin,” tutur Susy secara rinci.
 
Potensi para pemain muda di tunggal putra dan putri yang saat ini berada di Pelatnas dinilai tidak kalah dari negara lain. Namun, memang ada hal yang harus dibenahi untuk kembali mendapatan pemain unggulan yang bisa mendunia. Pembinaan yang berjenjang menjadi salah satu poin penting untuk menciptakan pemain yang berkualitas.

“Saya melihatnya masih kurang maskimal, mereka sebenarnya punya potensi tetapi mind set-nya harus diubah. Harus tahu, ngapain di Pelatnas, dan harus ada sikap tegas dan keras, biar memacu mereka menjadi lebih semangat dan mau berprestasi di level tertinggi,” ujar mantan ratu bulutangkis Tanah Air, Susy Susanti.

“Pembinaan juga harus berjenjang, regenerasi harus di tingkatkan. Bagaimana membuat regenerasi yang terus bersambung, harus menyiapkan sedini mungkin,” jelasnya lebih jauh.

Demi perbaikan prestasi, Susy Susanti juga menyarankan pihak terkait yang mengurusi bulutangkis dan pembinaan atlet disarankan untuk turun langsung dan menjemput bola untuk mengamati secara langsung potensi yang ada.

“Sebetulnya bibit pemain itu sangat banyak, tetapi harus tetap dipantau. Harus ada ranking sehingga kita bisa mengukur perkembangan pemain muda. Selain itu, kita harus jemput bola dengan bekerja sama, turun langsung melihat para pemain muda tersebut,” saran istri Alan Budikusuma tersebut.

Tak berhenti disitu, salah satu mantan pemain yang juga merupakan pengurus Pelatnas PBSI, Yuni Kartika ikut memberikan wejangannnya pada para pemain. Ia mengingatkan agar pebulutangkis Tanah Air jangan cepat puas hanya juara di level nasional.

“Jangan cepat puas, pemain muda negara lain juga berkembang dengan sangat bagus dan hampir merata. Walaupun sudah juara di nasional, mereka harus lagi, jalan masih jauh,” tandas wanita yang dikenal dengan potongan rambut pendeknya itu.

Susy SusantiMaria Febe KusumastutiJonatan ChristieIhsan Maulana MustofaYuni KartikaCritic Sport

Berita Terkini