x

3 Fakta Miris Wakil Indonesia dalam Sejarah Turnamen Bulutangkis French Open

Minggu, 20 Oktober 2019 17:16 WIB
Penulis: Arief Tirtana | Editor: Arum Kusuma Dewi
Turnamen bulutangkis French Open 2019 akan dimulai pekan depan.

INDOSPORT.COM - Turnamen bulutangkis French Open yang akan kembali berlangsung pekan depan (22/10/19) memiliki tiga fakta miris untuk wakil Indonesia.

Usai turnamen bulutangkis Denmark Open 2019, pebulutangkis terbaik Indonesia akan langsung berjibaku di turnamen selanjutnya, French Open 2019, Selasa (22/10/19).

Dalam turnamen yang akan digelar di Stade Pierre de Coubertin Paris, Prancis itu bisa dibilang peluang pebulutangkis Indonesia tak akan mudah untuk bisa meraih gelar juara.

Baca Juga

Bukan hanya berkaca pada hasil kurang memuaskan di beberapa turnamen sebelumnya, di mana hanya di nomor ganda putra Indonesia mampu mendominasi. Namun juga berlandaskan beberapa fakta miris yang hingga kini masih dirasakan Indonesia di French Open.

Apa saja fakta miris di French Open tersebut? Berikut INDOSPORT merangkumkan.


1. Minim Gelar

Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir saat meraih gelar juara di French Open 2017.

Sebagai salah satu negara besar di percaturan bulutangkis dunia, Indonesia justru terhitung jarang mendapatkan gelar juara di French Open.

Sudah digelar sejak tahun 1908 atau berjalan 110 tahun, Indonesia justru baru 23 kali meraih gelar juara di French Open. Dengan jumlah itu, Indonesia jauh tertinggal dari Inggris, China, tuan rumah Prancis, bahkan masih kalah dari negara tetangga Malaysia yang sudah 25 kali meraih juara.

Sebagai turnamen bulutangkis BWF World Tour Super 750, gelar juara French Open memang masih didominasi oleh wakil-wakil dari negara Eropa. Buktinya di urutan empat besar negara paling banyak juara, tiga di antaranya adalah negara Eropa. 

Mulai dari Inggris yang memuncaki dengan 110 gelar, Prancis di urutan ketiga dengan 42 gelar, dan Denmark di urutan keempat dengan 40 gelar juara.

Sementara Indonesia dnegan 23 gelarnya, terlempar di urutan ke tujuh negara paling banyak meraih gelar juara di French Open.


2. Tunggal Putri Tanpa Gelar

Legenda pebulutangkis Indonesia Ferry Sonneville, yang pernah juara ddi French Open berduet dengan pemain Malaysia Eddy Chong.

Sejumlah 23 gelar yang telah didapat Indonesia di French Open, paling banyak disumbangkan oleh sektor ganda putra. Di mana jika dihitung, tunggal putra Indonesia sudha menyumbangkan 7,5 gelar juara. 

Nominal 0,5 itu masuk hitungan karena di tahun 1957, ganda putra Indonesia Ferry Sonneville sukses meraih gelar juara dengan berpasangan dengan pemain Malaysia, Eddy Chong.

Baca Juga

Sumbangsih sektor ganda putra itu diikuti sektor tunggal putra yang telah menyumbangkan tujuh gelar juara, ganda campuran 6,5 gelar juara dan ganda putri dua gelar.

Namun menjadi ironis karena hingga kini, tak satupun gelar juara berhasil disumbangkan wakil-wakil Indoneisa yang bermain dalam sektor tunggal putri di French Open.


3. Tanpa Gelar

Kevin Sanjaya/Marcus Gideon atau Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan menjadi harapan Indonesia memutus puasa gelar di French Open.

Fakta miris selanjutnya adalah bahwa dalam lima gelaran French Open terakhir, Indonesia tiga kali absen merasakan gelar juara.

Baca Juga

Di tahun 2015, 2016 dan tahun 2018 lalu, tak satupun gelar juara French Open berhasil dibawa pulang ke tanah air. Dalam lima kali gelaran yang total memperebutkan 25 gelar juara di berbagai sektor, Indonesia pun hanya berhasil membawa pulang tiga gelar.

Yakni di sektor ganda campuran lewat Tontowi Ahmad/Liliyanan Natsir tahun 2014 dan tahun 2017. Juga Greysia Polli/Apriyani Rahayu di sektor ganda putri tahun 2017.

Dengan beberapa catatan miris tersebut, memang berat bagi wakil-wakil Indonesia. Namun harapannya, di French Open 2019 setidaknya ada gelar yang bisa dibawa pulang ke Indonesia. Minimal dari sektor ganda putra lewat Kevin Sanjaya/Marcus Gideon atau Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan.

Mohammad Ahsan/Hendra SetiawanKevin Sanjaya/Marcus GideonRaketTRIVIABulutangkisBerita OlahragaFerry SonnevilleFrench Open 2019

Berita Terkini