Critic Sport

Gapai Mimpi di Luar Negeri, Bagaimana Peran PSSI dan Pemerintah terhadap Nasib Pesepakbola Indonesia

Senin, 31 Oktober 2016 15:00 WIB
Penulis: Petrus Manus Da' Yerimon | Editor: Joko Sedayu
 Copyright:
Pemain Sering Alami Masalah Administrasi

Bagi pesepakbola muda Indonesia, untuk bisa bergabung dengan klub luar negeri ada beberapa jalur yang mewadahi mereka yakni, akademi, sekolah sepakbola (SSB), dan program Corporate Social Responsibility (CSR).

Akan tetapi, masalah yang dialami oleh para pesepakbola Tanah Air yang mencoba merumput ataupun menimba ilmu di luar negeri adalah kesulitan bergabung di akademi. Di regulasi FIFA, jika bergabung di akademi, seorang pemain harus memiliki izin tinggal maupun bekerja untuk bisa bergabung dengan sebuah klub.

Namun, untuk saat ini kasus tersebut lebih sering terjadi pada para pesepakbola muda Tanah Air yang ingin menimba ilmu di klub luar negeri. Contoh nyata adalah mengenai nasib Tristan Alif, bocah 12 tahun yang kabarnya dilirik klub Eropa.

Namun, karena masih di bawah umur, Tristan tidak bisa mendapatkan kontrak dari klub peminatnya sesuai regulasi FIFA. Jika bisa bergabung dengan akademi klub, ada persyaratan yang harus dipenuhi.

Hal itu boleh terjadi di bawah usia 18 tahun jika mengacu pada artikel 19 butir ke-2. Pada poin A, FIFA menjelaskan bahwa, transfer internasional bisa dilakukan jika orangtua pindah ke negara tempat klub yang dituju dengan alasan yang tidak terkait sepakbola, contoh: punya pekerjaan di perusahaan setempat.

Apa yang dialami oleh Tristan Alif ternyata juga dialami oleh pesepakbola muda lainnya dari Indonesia, Yussa Nugraha. Pemain yang sempat bergabung dengan SC Feyenoord di Sunday Hoofdklassen (kasta kedua liga amatir Belanda) tak bisa kembali ke klubnya lantaran terganjal masalah visa. Kedua orangtuanya pun tak tinggal di Belanda lagi, sehingga menyulitkan remaja 15 tahun tersebut berkarier di luar negeri.

Meski demikian, jalur SSB dan CSR membuka kemungkinan para jagoan muda ini bisa bergabung dengan klub impian. Jika akademi harus melalui seleksi ketat, maka tidak demikian dengan dua program ini.

Sekolah sepakbola memiliki pengertian yang tak jauh berbeda dengan akademi sepakbola. SSB jadi alternatif jika ada bakat muda yang memiliki kendala saat masuk ke akademi klub. Namun yang jadi perbedaan dengan akademi soal biaya.

Di akademi semua kebutuhan pemain muda sudah ditanggung klub, sedangkan di SSB seorang peserta harus membayar demi bisa mendapatkan pelatihan.

Sementara itu, salah satu program CSR adalah Manchester United Foundation. Program ini sempat memberikan pelatihan singkat kepada pemain muda asal Bali beberapa waktu lalu. Selain itu, pada April lalu, Manchester United Foundation melaksanakan United Training.

Dalam program ini, talenta Indonesia sebanyak 60 anak mendapatkan pelatihan sepakbola kelas dunia bersama pelatih dari Manchester United di pusat pelatihan United Training, Bali pada 11 hingga 18 Mei 2016.

Program CSR ini disinyalir berlaku bagi lima pemain berbakat Indonesia  yakni, Khairul Imam Zakiri, Nikola Filipovic, Aditya Affasha, Pancar Nur Widiastono, dan Adam yang menjalani trial atau pelatihan bersama tim akademi Real Valladolid. Mereka bergabung dengan Valladolid statusnya adalah mengikuti program pelatihan internasional dari klub tersebut.

"Valladolid ada international program. Dalam program ini di dalamnya termasuk pendidikan sekolah, latihan bola dan game," jelas Mulyawan Munial selaku CEO Munial Sport Group (MSG) mewakili kelima pemain muda di Vallladolid kepada INDOSPORT.

405