Liga Indonesia

Mengupas Sejarah dan Rivalitas 2 Klub Tionghoa di Jakarta

Senin, 30 Januari 2017 10:30 WIB
Editor: Gerry Anugrah Putra
 Copyright:
Adu Gengsi UMS dan Tunas Jaya di Lapangan Hijau

UMS dan Tunas Jaya seperti ditakdirkan selalu bertemu tiap tahun. Meski dulu di Jakarta terdapat klub Tionghoa lain seperti BBSA dan Sin Ming Hui, namun pertandingan UMS dan Tunas Jaya tetap jadi primadona.

Rival abadi tampaknya sudah menjadi bagian hidup keduanya sejak tahun 1946. Pasalnya, baik UMS dan Tunas Jaya sepakat untuk masuk sebagai anggota Persija pada tahun 1951. Keduanya pun kembali berkompetisi di lingkungan Persija.

Musim 1953/1954 merupakan musim perdana kompetisi sepakbola Persija dimulai. UMS benar-benar merajai Jakarta dengan menyambet gelar juara di musim perdana. UMS mendapatkan back to back pada musim 1955/1956, dan menasbihkan diri lebih baik dari Tunas Jaya.

UMS semakin berkibar dengan banyaknya pemain yang masuk ke Persija dan Timnas Indonesia. Setelah masuk Persija, UMS membuka diri dengan mempersilahkan pemain non Tionghoa memperkuat UMS. Setidaknya hampir 70 persen pemain Persija berasal dari UMS. Maka tak heran nama-nama pemain UMS seperti, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, Soei Joe, Kwee Hong Sing, Van der Vin, Djamiaat Dalhar, dan Wim Pie juga menjadi andalan Persija.

Era kejayaan UMS terus berlanjut di 1960-an. Kali ini UMS dipimpin oleh pelatih Liem Soen Joe alias drg. Endang Witarsa mampu merajai kompetisi Persija. Sedangkan Tunas Jaya namanya tak terlalu menonjol di kompetisi.

Superior UMS terbukti saat para pemainnya menyumbangkan gelar juara untuk Persija tahun 1964. Macan Kemayoran saat itu identik dengan UMS yang tinggal menambah Soetjipto Soentoro dan Sinyo Aliandoe saja di skuat tahun tersebut. Namun benih persaingan antar klub tetap terpelihara.


Ketika UMS Batavia dan Tionghoa Surabaya bertemu dalam laga amal.

"UMS kalau bertemu Tunas Jaya, persaingannya ketat. UMS boleh kalah dari siapa saja, tapi tidak dari Tunas Jaya. Pelatih sendiri yang ngomong itu," ujar Ketua Pengurus UMS saat ini, Alex Sulaiman kepada INDOSPORT.

Dengan demikian, UMS merasa mereka berada di atas Tunas Jaya dalam torehan prestasi di Persija dan Timnas Indonesia. Tetapi Tunas Jaya tak mau kalah dengan apa yang diberikan UMS ke Persija dan Indonesia.

Jika UMS bangga dengan banyaknya pemain yang membela Persija dan Timnas Indonesia, maka Tunas Jaya bangga pemainnya menjadi simbol Persija dan Timnas.

Nama Tan Liong Houw benar-benar menjadi simbol kebanggan Tunas Jaya. Pemain yang identik dengan handuk di leher saat bermain itu menjadi idola publik Jakarta. Tak percaya? Orang Betawi memberikan julukan Macan Betawi kepada Tan Liong Houw yang beretnis Tionghoa. 

"Kenapa dulu papi (Tan Liong Houw) dijuluki Macan Betawi, karena papi orang Jakarta dan main di Persija," jelas Budhi Tanoto mengenai julukan yang didapat oleh ayahnya.

Budhi Tanoto, putra legenda Tunas Jaya, Tan Liong Houw, bercerita tentang klub yang dibelanya saat muda.

Tak hanya di Persija, Tan Liong Houw juga menjadi simbol sepakbola Indonesia di Timnas. Tunas Jaya pantas bangga dengan Tan Liong Houw, karena di Timnas, UMS mau dipimpin oleh seorang Tunas Jaya. Ya, Liong Houw menjadi kapten bagi Timnas Indonesia

Menarik memang, karena para pemain akur saat membela Persija dan Timnas, namun saat membela panji klub masing-masing, kata akur sudah tak lagi digunakan.

"Mereka selalu ingin menunjukkan diri lebih baik dari Tunas Jaya, kita pun di Tunas Jaya demikian. Jadi jika ketemu di lapangan, pertandingan selalu seru," cerita sepuh Tunas Jaya, Bernhard Sindakara, mengenang rivalitas keduanya.

UMS pun juga punya prinsip yang sama dengan rivalnya itu, yakni benih-benih persaingan terus tertanam di jiwa pengurus dan pemain mereka. "Kita boleh kalah dari klub lain, tapi jika lawan Tunas Jaya sudah jelas kita tidak boleh kalah," cerita Yan Somar yang merupakan mantan pemain UMS.

Salah satu mantan pemain Tunas Jaya, Iwan dan Eko pun masih ingat betul masa saat mereka berhadapan dengan UMS. Iwan yang menjadi pemain Tunas Jaya 1980-an selalu terngiang persaingan hebat keduanya.

"Saya seangkatan dengan Wahyu Tanoto, putranya Tan Liong Houw. Kalau bersaing dengan UMS kita memang sengit. Kita adu gengsi dengan mereka, dan memang instruksi dari pengurus memang tidak boleh kalah," kenang Iwan saat dirinya masih berkostum Tunas Jaya.

Begitu juga dengan Eko yang kini alih profesi menjadi wasit jika ada pertandingan di Taman Sari. Dirinya memang tidak terlalu mengalami persaingan dengan UMS secara dalam, namun saat membela Tunas Jaya pada era 2000-an awal dia sempat merasakan permainan keras di lapangan.

"Wah, kalau lawan UMS memang ketat, tapi sehabis pertandingan kita akur lagi. Cuma di lapangan gengsi klub tak bisa dihilangkan," cerita Eko saat ditemui INDOSPORT seusai memimpin pertandingan Tunas Jaya Old Star di Stadion Taman Sari, Minggu (22/01/17).

Rivalitas UMS dan Tunas Jaya yang paling nyata adalah beberapa tahun lalu tepatnya 2012 dalam kompetisi internal Persija di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Tunas Jaya yang kala itu unggul mendapat perlawanan keras dari UMS. 

Salah satu pemain UMS mendapat kartu merah dari wasit karena melanggar pemain Tunas Jaya dengan keras. Tak terima, pemain UMS pun menyerang pemain Tunas Jaya dan kerusuhan antar pemain pun pecah.

Meski sempat diamankan oleh wasit, sang pemain yang tak terima dikeroyok pemain Tunas Jaya, diam-diam membawa balok dan menyerang bangku cadangan Tunas Jaya. Kerusuhan antar pemain dan pendukung kedua tim pecah di Banteng.

"Ya memang begitu kalau di lapangan, tapi sebetulnya di luar lapangan dan sesama pengurus kita akur kok. Cuma memang kan di lapangan hawa panas susah dihilangkan," lanjut Iwan.

Budhi Tanoto punya pengalaman yang tak terlupakan saat menghadapi UMS. Dirinya pernah mengalahkan UMS di kandangnya, Stadion Petak Sinkian. 

"Saat itu kita mantan-mantan Tunas Jaya diundang UMS pas ulang tahun ke-100. Kita main di Petak Sinkian, kandang mereka. Senangnya, kita menang 3-1 dari UMS, saya bikin gol satu," kenang Budhi sambil tertawa lebar mengingat momen tersebut.

Namun Budhi tak setuju jika pertandingan keduanya harus berakhir dengan kericuhan. Dirinya tak pernah merasakan adu jotos atau perkelahian di lapangan saat membela Tunas Jaya berhadapa dengan UMS.

"Zaman saya dulu gak pernah ribut. Paling kita main keras di lapangan karena kita tak mau kalah dari mereka," ia menuturkan.

Hingga kini rivalitas UMS dan Tunas Jaya di lapangan hijau terus berlanjut, hingga keduanya hanya menjadi klub penyetor pemain muda saja ke Persija. Bahkan, UMS dan Tunas Jaya seakan hanya mengenang kejayaan masa lalu saja.

383