Bola Internasional

Juan Roman Riquelme, Generasi Nomor 10 Terakhir di Dunia Sepak bola Modern

Sabtu, 11 April 2020 06:45 WIB
Penulis: Bayu Wira Handyan | Editor: Indra Citra Sena
 Copyright:

INDOSPORT.COM - Argentina sejak dulu dikenal sebagai negara produsen pesepak bola berbakat. Bersama Brasil, talenta potensial yang berasal dari wilayah mereka seakan tak ada habisnya.

Jika Brasil terkenal dengan para pemainnya yang seakan mampu berdansa di atas lapangan, pemain Argentina lebih ke arah kejeniusan mereka.

Salah satu produk terbaik jebolan Argentina selain Diego Armando Maradona dan Lionel Messi adalah Juan Roman Riquelme. Dia termasuk salah satu pemain yang berhak menyandang gelar gelandang terbaik dunia.

Riquelme banyak disebut sebagai pemilik sahih nomor 10 terakhir. Pergerakannya yang lambat dan terlihat sangat jarang turun menjemput bola dapat tertutup dengan kejeniusannya melepas umpan penghancur pertahanan serapat apa pun.

Dijuluki ‘Si Malas’, Riquelme adalah salah satu pemain yang diberkahi dengan kreativitas yang tak dimiliki oleh semua pemain.

Melihatnya berada di atas lapangan tak ubahnya melihat seorang pelukis sedang beraksi di depan kanvas. Gerakannya yang elegan mampu membius puluhan ribu suporter di tribun sekaligus lawan-lawannya.

Tanpa diduga-duga, tiba-tiba bola telah meluncur memberi peluang pada rekannya untuk dapat mencetak gol. Tak heran, di puncak kariernya dulu Juan Roman Riquelme dipandang sebagai ancaman serius bagi lini belakang klub mana pun.

Lahir dan besar di pinggiran Buenos Aires, Riquelme mengenal sepak bola sejak usia dini. Dia telah bergabung dengan Argentinos Juniors dan mampu mencuri perhatian dari banyak klub mapan di Argentina.

Hasilnya, Juan Roman Riquelme. diboyong Boca Juniors bahkan sebelum usianya menginjak 18 tahun dengan banderol 800.000 dolar AS (sekitar Rp11, 7 miliar). Nominal yang cukup impresif.

Bersinar di Boca Juniors, dia berhasil mengantarkan membawa dua titel Copa Libertadores ke La Bombonera sebelum diboyong oleh Barcelona pada 2002.

Bermain di LaLiga Spanyol bersama Barcelona tampaknya adalah salah satu neraka dalam kariernya. Sejuta harapan akan penampilan gemilang di Eropa yang dibebankan di pundaknya harus rubuh seiring ketidakcocokan Riquelme dengan gaya pelatihnya kala itu, Louis van Gaal.

Beberapa kali dirinya dikritik karena etos kerjanya dianggap kurang dan dianggap merugikan klub secara keseluruhan. Harapan publik Argentina melihat Riquelme menaklukkan Eropa seperti apa yang dilakukan Diego Maradona seakan harus dikubur dalam-dalam.

Di tengah kesedihan dan putus asa atas kegagalannya di Camp Nou, Villarreal datang membawa harapan. Dia berhasil menjadi kunci sukses kebangkitan klub yang pada beberapa musim sebelumnya tampil di Divisi Segunda tersebut.

Bersama Diego Forlan, Riquelme berhasil membawa Villarreal merangsek ke papan atas LaLiga Spanyol. Di sanalah mimpinya menaklukkan Eropa kembali bangkit.

Sukses menembus semifinal Liga Champions 2005-2006, kegemilangan Riquelme terus berlanjut di timnas Argentina. Dia mengantarkan Tim Tango melangkah ke perempat final Piala Dunia 2006.

Perselisihannya dengan pemilik Villarreal membuatnya memutuskan untuk pulang kampung ke Argentina. Kembali berseragam Boca Juniors, Riquelme membantu raksasa Liga Argentina itu meraih beberapa gelar juara.

Setelahnya, dia memutuskan mengakhiri karier di tempat di mana dia memulai semuanya, Argentinos Juniors. Selama setahun di sana Riquelme berhasil membawa klub masa kecilnya tersebut mendapatkan promosi untuk tampil di kasta tertinggi Liga Argentina.

Riquelme menunjukkan bahwa tak perlu dribel enerjik atau lari seperti cheetah untuk dianggap hebat. Kejeniusannya di atas lapangan selalu membuat orang menunggu-nunggu momen magis seperti apa yang akan tercipta ketika bola telah berada di kakinya.