In-depth

Bardosono, Ketua PSSI Titipan Istana yang Otoriter dan Kontroversial

Kamis, 30 April 2020 14:16 WIB
Penulis: Arief Tirtana | Editor: Ivan Reinhard Manurung
© pssi.org
Tahun 1974 hingga 1977, PSSI sempat dipimpin Ketua yang kontoversial dan sempat dijuluki sebagai titipan istana, Bardosono. Copyright: © pssi.org
Tahun 1974 hingga 1977, PSSI sempat dipimpin Ketua yang kontoversial dan sempat dijuluki sebagai titipan istana, Bardosono.

INDOSPORT.COM – Tahun 1974 hingga 1977, PSSI sempat dipimpin Ketua yang kontroversial dan sempat dijuluki sebagai titipan istana, Bardosono.

Pada tahun 1970-an, Federasi sepak bola Indonesia, PSSI, menjadi sorotan publik olah raga Indonesia, dengan keberadaan Ketua bernama Bardosono.

Bardosono adalah Ketua PSSI yang mulai menjabat pada tahun 1974, yang bahkan sejak awal terpilihnya saja sudah memancing kontroversi.

Kontroversi pertama muncul dalam pengajuan dirinya sebagai calon Ketua Umum PSSI. Dimana dengan jabatan Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sekdalopbang) yang sudah dipegangnya saat itu, Bardosono maju dengan membawa pernyataan bahwa dirinya mendapatkan restu dari Istana (Presiden). Hingga kemudian memunculkan julukan dirinya merupakan Ketua Umum PSSI titipan Istana.

Dalam proses pemilihannya pun, Bardosono memancing kontroversi lainnya. Kala dirinya dipilih dalam proses yang dipercepat sehari dari waktu seharusnya dan cenderung dipaksakan oleh Ketua Sidang Kosasih Purwanegara.

Terpilih dan maju sebagai Ketua PSSI sejak Agustus 1974, kontrovesi terus muncul dalam kepemimpinan Bardosono sebagai Ketua PSSI. Masalah itu terlihat jelas ketika pada 10 bulan kepemimpinannya, tiga orang penting dalam kepengurusan memilih mundur karena tak kuat/tak bisa bekerja sama dengan dirinya dengan baik. Mereka adalah Ketua I Sutjipto Danukusumo, Ketua II Kamaruddin Panggabean dan Sekretaris Jenderal Hans Pandelaki.

Selain itu selama memimpin PSSI, dengan pengalaman yang minim (bahkan tak ada) dalam sepak bola, Bardosono juga kerap memunculkan kontroversi dengan ucapannya dan tindakannya yang otoriter.

Terlebih saat dirinya mendapatkan maandataris penuh pada Kongres PSSI di Medan 1975. Pergerakan Bardosono sebagai Ketua PSSI semakin tak beraturan, bahkan sampai ikut campur dalam pemilihan pemain untuk Timnas Indonesia.

Disitulah sikap otoriter Bardosono semakin terlihat. Kala pelatih Timnas Wiel coerver yang menolak campur tangan Bardosono, justru menjadi pihak yang kalah dan dipecat ketika belum setahun menangani Timnas Indonesia. Padahal kala itu dengan reputasi luar biasanya, Coerver mampu membawa Timnas Indonesia hampir menembus Olimpiade Montreal 1976.

Sepak Bola Pancasila

Dalam sikap otoriter, kepemimpinan Bardosono sebagai Ketua PSSI juga dikenal kala itu dengan konsep sepak bola Pancasila yang diusungnya.

Konsep tersebut memancing kontroversi, karena dalam konsepnya, Bardosono seakan tak peduli dengan hasil pertandingan.

Dalam artian menang kalah menjadi bukan lagi hal yang penting baginya. Jadi kalau ada pertandingan yang berakhir imbang 90 menit dan belum menemukan juara, dalam konsep itu maka kedua tim akan langsung diputuskan sebagai pemenang.

Ketidakpedulian pada hasil pertandingan juga sempat ditujukan ketika Timnas Indonesia tersingkir di ajang Merdeka Games. Kala itu Bardosono berseloroh tak apa Timnas kalah 100-0 sekalipun agar lawan tak tahu kekuatan kita di kompetisi sesungguhnya yang akan mereka ikuti setelahnya kala itu.

Bobrok Bardosono sebagai Ketua PSSI pada saat itu akhirnya sampai ke titik nadir setelah Persatuan Olah raga Seluruh Indonesia, KONI, ikut mengambil tindakan pada Mei 1977.

KONI yang biasanya bersikap netral dalam masalah Federasi setiap olah raga yang ada di bawahnya, saat itu tak kuasa untuk melayangkan dua tuntutan alternatif. Pertama untuk diadakan kongres luar biasa PSSI atau meminta Bardosono untuk turun dari jabatannya saat itu.

Diberikan batas waktu hingga 15 Juni 1977, Bardosono akhirnya menjawab campur tangan KONI dengan mengundurkan diri. Meski dalam proses pengunduran dirinya, Bardosono juga masih sempat memunculkan beberapa masalah. Salah satunya dengan hadir ke Kongres PSSI setelah dirinya mundur, sambil juga mengeluarkan pernyataan, “kalua yang gampang bisa dibikin susah, kenapa tak dibikin susah.”