Bola Internasional

Perjalanan Thiago Silva: Belajar di AC Milan, Hampir Meninggal karena TBC

Senin, 12 Oktober 2020 16:49 WIB
Editor: Zulfikar Pamungkas Indrawijaya
© twitter.com/ChelseaFC
Mengulas jalan terjal Thiago Silva menjadi salah satu bek terbaik di dunia. Dari belajar di AC Milan hingga kisahnya saat hampir meninggal karena TBC. Copyright: © twitter.com/ChelseaFC
Mengulas jalan terjal Thiago Silva menjadi salah satu bek terbaik di dunia. Dari belajar di AC Milan hingga kisahnya saat hampir meninggal karena TBC.

INDOSPORT.COM – Transfer musim panas 2020 ini dikejutkan dengan pergerakan Chelsea yang merekrut Thiago Silva dengan status bebas transfer. Kedatangannya sendiri terbilang mengejutkan. Mengingat usianya saat itu hampir menginjak 36 tahun.

Keputusan Chelsea mendatangkan Thiago Silva sendiri sebenarnya bukan hal yang perlu dipertanyakan. Frank Lampard selaku pelatih menegaskan bahwa tim mudanya butuh figur sekaliber pemain berusia 36 tahun tersebut.

Jika menilik perjalanan Thiago Silva, maka tak mengherankan mengapa Lampard meminta Chelsea untuk merekrutnya. Pria asal Brasil ini dikenal karena jiwa kepemimpinan dan jiwa petarungnya. 2 hal penting yang Lampard inginkan dalam skuat mudanya.

Lampard yang semasa masih bermain pernah berhadapan langsung dengan Thiago Silva tahu betul bahwa mantan bek Paris Saint-Germain ini adalah pemain yang tepat untuk membimbing tim muda Chelsea.

Apalagi dengan fakta bahwa Thiago Silva memiliki mental juara yang terbukti dari 30 gelar yang telah ia raih sejauh ini baik saat masih bermain di Brasil hingga Prancis.

Dengan torehan gelar tersebut, tentu imej Thiago Silva sebagai pemain sukses di sepak bola modern tak dapat dipungkiri lagi. Namun dalam perjalanannya untuk meraih prestasi tersebut, ada harga malah yang bahkan hampir merenggut nyawanya.

Kembali ke masa mudanya, Thiago Silva tumbuh di Rio de Janeiro, sebuah kota dengan tingkat kriminalitas yang tinggi. Seperti pesepak bola asal Brasil lainnya, ia tumbuh di lingkungan yang sulit dan bisa saja menjerumuskanya.

Namun berkat mimpinya yang ingin menjadi pesepak bola, ia tak terpengaruh dengan lingkungan dan fokus terhadap cita-citanya. Hal tersebut tercapai saat ia direkrut RS Futebol.

Perjalanannya sebagai bek handal pun di mulai dari sana hingga ia bergabung Juventude. Tak butuh waktu lama, seperti impian pesepak bola Brasil lainnya, Thiago Silva mendapat kesempatan bermain di Eropa di usia 18 tahun.

Saat itu FC Porto mendatangkannya. Namun bersama raksasa Portugal itu, ia hanya bermain bersama tim B saja. 6 bulan kemudia, ia dilepas ke klub Rusia yakni Dynamo Moscow.

Perjalanannya di Rusia dan Eropa pun tak seperti impiannya. Apalagi saat ia terserang penyakit TBC yang hampir merenggut nyawanya. Alhasil kariernya di Eropa saat muda harus pupus pada awal tahun 2006.

Thiago Silva lantas dilepas ke Fluminense dengan status pinjaman yang kemudian di akhir tahun 2007, ia dipermanenkan oleh raksasa sepak bola Brasil tersebut.

Dari sinilah ia mulai menapaki jalannya sebagai bek tangguh. Bakatnya sebagai bek pun tercium, terutama saat mengantarkan Fluminense menjuarai Copa do Brasil pada 2007 sekaligus terpiih sebagai bek terbaik selama dua tahun berturut-turut.

Performa apik tersebut membuat Chelsea kepincut. Namun AC Milan lah yang nyatanya berhasil membawanya kembali ke Eropa pada 2009. Perjalanannya di Eropa edisi kedua pun dimulai dan berjalan manis.

Dalam petualangannya bersama AC Milan, Thiago Silva merasa bersyukur karena dikelilingi bek-bek legendaris seperti Paolo Maldini dan Alessandro Nesta. Dari keduanya ia belajar banyak hal sehingga bisa menjadi salah satu bek terbaik di dunia.

Bahkan bek legendaris AC Milan seperti Franco Baresi pernah memujinya sebagai suksesornya di San Siro. Hal tersebut membuatnya bangga bukan kepalang, apalagi mengingat jalan terjal yang ia lalui sehingga bisa bergabung tim papan atas Eropa.

“Kata-kata dari Baresi adala sumber kebanggaan terbesar bagiku. Saya berterima kasih untuk semua yang saya jalani di Milan. Terutama untuk Maldini dan Nesta,” ujar Thiago Silva.

Selepas mengadu nasib di kota Mode, Thiago Silva mendapat pinangan dari Paris Saint-Germain. Kepindahannya pun tak terelakkan setelah mahar 42 juta euro disodokan PSG kepada AC Milan pada 2012.

Setelahnya, ia menjadi salah satu pionir kebangkita PSG di sepak bola Prancis di bawah naungan Nasser Al-Khelaifi. Beragam gelar domestik pun mampu diraih Thiago Silva.

Pada penghujung masa baktinya bersama PSG, Thiago Silva bertekad memberikan gelar Liga Champions kepada Les Parisiens. Namun di partai puncak, ia dan rekan-rekannya harus tumbang dengan skor 0-1 dari Bayern Munchen.

Mungkin gelar Liga Champions menjadi gelar yang ia cari untuk menutup kariernya yang berada di usia senja sebagai pemain saat ini, bersamaan dengan keinginan untuk bermain di Piala Dunia 2022 bersama Brasil.

“Yakinlah bahwa saya di sini (Chelsea) bukan untuk bersenang-senang atau berbagi pengalaman. Saya di sini untuk menang dan memberikan segalanya untuk memastikan Chelsea menang,” tekad Thiago Silva di 2020 ini.