In-depth

Serial Liga Indonesia Sistem Wilayah: Era 1990-an, Dominasi Pulau Jawa

Selasa, 9 Februari 2021 18:05 WIB
Editor: Indra Citra Sena
© Grafis: Yanto/Indosport.com
Seperempat Abad Era Profesional, Tahun Perak Sepak bola Indonesia. Grafis: Yanto/Indosport.com Copyright: © Grafis: Yanto/Indosport.com
Seperempat Abad Era Profesional, Tahun Perak Sepak bola Indonesia. Grafis: Yanto/Indosport.com

INDOSPORT.COM - Liga 1 2021 masih menghadirkan tanda tanya besar. Izin kepolisian yang tak kunjung turun membuat sebagian besar klub peserta kebingungan memprediksi kapan kompetisi akan kembali bergulir.

Bukan hanya itu, klub-klub juga belum punya gambaran mengenai format Liga1 2021 nantinya. Apakah tetap mempertahankan skema normal dengan catatan sentralisasi di Pulau Jawa atau malah balik ke format lama, yaitu membagi rata peserta ke dalam dua wilayah. 

Setelah pandemi virus corona memporak-porandakan jagat sepak bola nasional, puncaknya Liga 1 2020 tidak tuntas akibat dibubarkan PSSI, wacana menggelar musim baru dengan format zonasi kembali mencuat ke permukaan.

Apalagi, kondisi geografis Indonesia yang wilayahnya luas dan berbentuk kepulauan mendukung penerapan kompetisi model zonasi. PSSI bisa berkaca kepada Liga Amerika Serikat (MLS).

Berdasarkan data situs ternama Statista, Amerika Serikat merupakan negara paling besar ketiga di dunia setelah Rusia dan Kanada. Masuk akal bila kemudian MLS menggunakan format dua wilayah (Eastern dan Western) untuk mempermudah akses dan mobilisasi klub-klub peserta.

Wacana dua wilayah tentu berpotensi menimbulkan pro dan kontra di kalangan peserta Liga 1 2021. Format zonasi punya kelebihan dan kekurangan berdasarkan pengakuan sejumlah pelaku sepak bola nasional.

Namun, bila mengacu kepada kondisi terkini ketika Indonesia tengah dilanda pandemi virus corona, PSSI diharuskan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Salah satu item dalam protokol kesehatan 3M yang dikampanyekan pemerintah yaitu menjaga jarak. Penerapan format zonasi secara tidak langsung mengakomodasi sekaligus mendukung gerakan ini.

Artinya, penggunaan model dua wilayah adalah opsi yang memungkinkan untuk dilakukan dalam kondisi pandemi seperti sekarang, bahkan bisa menjadi solusi. Klub-klub terpusat di kawasan mereka masing-masing sehingga angka penularan virus corona bisa ditekan.

Berkaca dari sejarah, Liga Indonesia justru mengawali era profesional pasca-peleburan Perserikatan-Galatama dengan memutar kompetisi yang menerapkan model zonasi, tepatnya dua wilayah (Barat dan Timur) pada 1994-1995.

Berikut INDOSPORT merangkum musim-musim di mana Liga Indonesia memakai format pembagian wilayah, dimulai dari dekade 1990-an.  

Dari Liga Dunhill sampai Liga Reebok

Gong era profesional Liga Indonesia berbunyi pada 27 November 1994. Kampiun Perserikatan 1993-1994, Persib Bandung, dan jawara Galatama 1993-1994, Pelita Jaya, dipilih untuk saling bertarung dalam partai pembuka sekaligus gong era profesional sepak bola Tanah Air. 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by TABLOID BOLA (@tabloid_bola)

Seiring perkembangannya, Liga Dunhill, sesuai nama sponsor kompetisi kala itu, memunculkan Persib sebagai juara setelah melalui perjalanan panjang dari penyisihan (babak wilayah), babak 8 Besar, semifinal, ke final.

Trofi juara diklaim berkat keberhasilan menekuk Petrokimia Putra dengan skor tipis 1-0 dalam pertandingan final yang berlangsung secara meriah di Stadion Utama Senayan (kini SUGBK). Gol semata wayang Persib dicetak oleh Sutiono Lamso.

Berselang semusim kemudian, giliran tetangga Persib jebolan Galatama, Bandung Raya, yang merengkuh titel juara. Mereka menyudahi perlawanan PSM Makassar dua gol tanpa balas di final.

Memasuki 1996-1997, sponsor utama berganti sehingga nama kompetisi berubah (Liga Kansas) dan format sedikit dimodifikasi menjadi tiga wilayah. Persebaya Surabaya sukses meraih gelar perdana berkat kemenangan meyakinkan 3-1 atas Bandung Raya di partai final.

Gairah sepak bola Indonesia terus meningkat, tapi peristiwa bersejarah Reformasi 1998 plus krisis moneter dan skandal mafia wasit memaksa PSSI waktu itu membubarkan Liga Indonesia 1997-1998 yang baru menyelesaikan putaran pertama.

Memulai kembali dari nol, Liga Indonesia 1998-1999 pun berputar meski di tengah keterbatasan. Format kompetisi kembali dimodifikasi menjadi lima wilayah yang ujungnya menghadirkan kegembiraan kepada masyarakat ibu kota Jawa Tengah.

Tidak ada sponsor utama yang digunakan sebagai nama resmi kompetisi seperti Liga Dunhill dan Liga Kansas, namun seluruh jersey peserta ketika itu menggunakan apparel Reebok.

PSIS Semarang berhak membawa pulang trofi juara usai mengalahkan salah satu rival terkuat, Persebaya, dalam laga final yang berlangsung di Stadion Klabat, Manado. Gol tunggal Tugiyo sang Maradona dari Purwodadi, sudah cukup untuk mengunci titel.

Secara keseluruhan, Liga Indonesia era 1990-an memperlihatkan dominasi Pulau Jawa. Seluruh juaranya berasal dari sana, antara lain Persib Bandung, Bandung Raya, Persebaya Surabaya, dan PSIS Semarang.

Bila dilihat sedikit lebih luas, finalisnya juga hampir semua berasal dari Pulau Jawa, kecuali PSM Makassar (1995-1996). Sisanya Petrokimia Putra (1994-1995), Bandung Raya (1996-1997), dan Persebaya (1998-1999).

Begitulah kira-kira sepenggal cerita tentang Liga Indonesia yang menerapkan model zonasi alias pembagian wilayah dekade 1990-an. Nantikan pembahasan INDOSPORT selanjutnya mengenai era 2000-an.