In-depth

Sepenggal Kisah Rahmad Darmawan, Pelatih Lokal Tersukses di Liga Indonesia

Kamis, 11 Februari 2021 18:55 WIB
Editor: Indra Citra Sena
© maduraunitedfc.com
Platih Madura United, Rahmad Darmawan. Copyright: © maduraunitedfc.com
Platih Madura United, Rahmad Darmawan.

INDOSPORT.COM - Liga 1 2021 belakangan menemui titik terang. Pemaparan PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) tentang skema baru plus protokol kesehatan untuk kompetisi mendapatkan sambutan positif dari Menpora RI, Zainudin Amali, pihak kepolisian, dan Satgas Covid-19, Rabu (10/2/21).

Namun, izin keramaian yang selama ini diidam-idamkan oleh PSSI belum pasti turun, sehingga akan seperti apa nantinya kemasan Liga 1 2021 masih digodok. Isu-isu bermunculan, salah satunya penggunaan format zonasi alias pembagian wilayah.

Belum lama ini, INDOSPORT menanyakan soal kemungkinan Liga 1 kembali mengadopsi model kompetisi lebih dari satu wilayah kepada pelatih top Indonesia yang kini menangani Madura United, Rahmad Darmawan. Lantas, apa jawabannya?

"Kalau melihat geografis Indonesia, kemungkinan akan ada penyesuaian, tapi format tak begitu penting menurut saya. Yang lebih penting adalah segera jalankan kompetisi dengan protokol kesehatan karena kita sudah setahun vakum," cetus Rahmad Darmawan, Senin (8/2/21).

Jawaban tersebut bisa dibilang sebagai bentuk keprihatinan Coach RD, sapaan akrabnya, melihat kompetisi sepak bola Indonesia yang tidak kunjung bergulir lagi seperti negara-negara tetangga semisal Malaysia dan Thailand.

Meski begitu, bila membahas soal format pembagian wilayah dalam sejarah Liga Indonesia, Rahmad Darmawan justru punya kenangan manis. Kompetisi bal-balan Tanah Air memang pernah lumayan lama identik dengan sistem zonasi di masa lalu.

Sejak memasuki era profesional pasca-peleburan kompetisi Perserikatan (1930-1994) dan Galatama (1979-1994) pada medio 1994, Liga Indonesia lebih sering menggunakan format zonasi ketimbang satu wilayah seperti liga-liga di negara lain pada umumnya.

Saat kasta tertinggi masih bernama Divisi Utama (1994-2008), Liga Indonesia hampir selalu memakai format zonasi, entah itu dua (1994-1995, 1995-1996, 1999-2000, 2001, 2002, 2005, 2006, 2007-2008), tiga (1996-1997, 1997-1998), atau lima wilayah (1998-1999).

Anomali hanya pernah terjadi dalam dua kesempatan, yaitu 2003 dan 2004, yang menyatukan klub-klub elite Indonesia ke dalan satu wadah besar. Persik Kediri dan Persebaya Surabaya keluar sebagai juara masing-masing musim tersebut.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by TABLOID BOLA (@tabloid_bola)

Kecenderungan berubah saat memasuki era Indonesia Super League (ISL) periode 2008-2015 yang lebih mengutamakan format satu wilayah, meski sempat semusim 'membelot' ke format zonasi dua wilayah edisi 2014 karena pertimbangan situasi dalam negeri waktu itu.

Warisan era ISL lantas kembali dipakai oleh Liga 1. Sejak pertama kali berputar pada 2017, kasta tertinggi Indonesia selalu menerapkan format satu wilayah (18 klub) yang memang jamak digunakan oleh negara-negara lain, terutama Eropa sebagai kiblat sepak bola dunia.

Kembali ke Rahmad Darmawan, format zonasi meninggalkan kesan positif karena dia mengantarkan dua tim berbeda ke podium juara, masing-masing Persipura Jayapura (2005) dan Sriwijaya FC (2007-2008).

Di 2005, Coach RD membawa Persipura merengkuh titel juara untuk kali pertama. Mengandalkan kombinasi pemain asing dengan generasi belia Papua seperti Boaz Solossa, Ian Louis Kabes, Imanuel Wanggai, dan Christian Warobay, mereka menekuk Persija Jakarta di laga puncak.

Final yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) itu sangat menghibur penonton karena baik Persipura maupun Persija saling balas menyerang. Skor akhir 3-2 menjadi bukti sahih betapa sengitnya pertandingan tersebut.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by TABLOID BOLA (@tabloid_bola)

Berselang dua musim kemudian, Rahmad Darmawan kembali mengangkat trofi juara, tapi kali ini bareng klub berbeda, Sriwijaya FC. Dia memimpin generasi emas yang terdiri dari gabungan bintang lokal plus amunisi asing sekaliber Zah Rahan, Anoure Obiora, dan Keith Kayamba Gumbs.

Sriwijaya FC arahan Coach RD mengklaim titel Liga Indonesia 2007-2008 usai melibat sesama wakil Sumatra, PSMS Medan, dengan skor meyakinkan 3-1 di final. Laga mesti berlangsung selama 120 menit lantaran kedua tim sempat bermain sama kuat 1-1 sepanjang waktu normal.

"Kalau boleh jujur, saya sempat merasa PSMS akan juara pada awal musim. Perasaan itu semakin kuat saat dipastikan berjumpa di final. Saya pun meminta para pemain berjuang habis-habisan di atas lapangan dan berbuah manis," kata RD seperti dilansir Tabloid BOLA edisi 1.800 (12 Februari 2008).

Keberhasilan RD bersama Persipura Jayapura dan Sriwijaya FC berujung rekor abadi. Dialah pelatih lokal pertama dan satu-satunya hingga kini yang mampu menjuarai Liga Indonesia bersama dua tim berbeda.

RD mengungguli nama-nama beken yang mengoleksi satu gelar, mulai dari Indra Thohir (1994-1995), Rusdy Bahalwan (1996-1997), Edy Paryono (1998-1999), Sofyan Hadi (2001), Jaya Hartono (2003), Daniel Roekito (2006), Kas Hartadi (2011-2012), hingga Djajang Nurdjaman (2014). 

Bila dilihat secara keseluruhan terkait rekor juara Liga Indonesia bersama dua tim berbeda, Rahmad Darmawan sejajar dengan tiga pelatih asing, yaitu Henk Wullems (Bandung Raya-PSM Makassar), Jacksen F. Tiago (Persebaya-Persipura), dan Stefano Cugurra (Persija-Bali United). 

Soal kesuksesannya di format pembagian wilayah, RD mengaku baru sadar, tapi tetap pada pendiriannya bahwa Liga 1 harus segera dijalankan. Tak  peduli bagaimana pun bentuknya nanti.

"Betul juga (dua kali juara di format 2 wilayah), tapi buat saya sama saja. Yang penting Liga 1 2021 berjalan dan sepak bola Indonesia hidup kembali," tandasnya.

Itulah sepenggal kisah Rahmad Darmawan. Pelatih lokal paling sukses sepanjang sejarah Liga Indonesia (2 kali juara), belum termasuk tiga titel Piala Indonesia bersama Sriwijaya FC (2008, 2009, 2010).