Kisah Beatrice de Lavalette, Atlet Paralimpiade Tokyo Korban Bom Brussels

Rabu, 11 Agustus 2021 20:29 WIB
Editor: Nugrahenny Putri Untari
 Copyright:

INDOSPORT.COM - Atlet Paralimpiade Tokyo 2020, Beatrice de Lavalette, adalah salah satu saksi hidup serangan teror bom Brussel yang mengubah hidupnya 180 derajat.

Pada 22 Maret 2016, dunia sempat digegerkan oleh insiden pengeboman Bandara Brussels yang dilakukan oleh sekelompok teroris.

Saat itu, Beatrice de Lavalette sedang berada di TKP sebagai calon penumpang pesawat. Ia akan pergi ke Florida untuk mengunjungi kedua orang tuanya.

Akan tetapi, bayang-bayang indah menikmati waktu bersama keluarga tersebut mendadak sirna begitu saja akibat ulah oknum yang tidak berperikemanusiaan.

Kepada Insider, Beatrice pun membagikan sedikit kisah pedihnya sebagai salah satu korban selamat dalam insiden tersebut.

Saat pengeboman terjadi, Beatrice de Lavalette masih berusia 17 tahun. Ya, masa mudanya nyaris terenggut begitu saja usai mengalami cedera parah yang bisa saja membuat nyawanya tidak tertolong.

Wanita yang kini menekuni dunia para-equestrian tersebut saat itu sedang berada di antrean bagasi ketika ledakan terjadi. Semuanya terasa begitu cepat, bahkan Beatrice sempat merasa dirinya mungkin sedang berada di antara hidup dan mati.

Usai ledakan, ia sempat sadar dengan kondisi sekitarnya, lalu nyaris pingsan, terbangun lagi, dan merasa tidak sadarkan diri lagi. Begitu terus seterusnya.

“Saya berdarah, tapi sebelum saya benar-benar tidak sadar diri, saya ingat, saya melihat api, asap, dan ruangan dipenuhi kegelapan,” jelasnya.

Dalam situasi tersebut, Beatrice melihat setitik cahaya yang berasal dari ujung lorong dan berkata pada diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja jika ia bisa mencapai tempat tersebut.

Masih ada harapan untuk hidup yang terus menggeliat dalam dirinya. Akan tetapi, ketika tim penyelamat datang, Beatrice masuk dalam kategori korban bertanda merah, alias terluka sangat parah.

Nyawanya bisa saja tidak selamat. Apalagi, para petugas mendapat instruksi untuk memprioritaskan pertolongan bagi mereka yang masih punya kans besar untuk hidup, dan Beatrice bukan salah satunya.

Walaupun demikian, Beatrice tidak menyerah. Ia berusaha menunjukkan kepada paramedis dan pemadam kebakaran bahwa dirinya juga masih bisa selamat - berteriak dan mengangkat tangannya ke atas.