In-depth

Lee Chong Wei, Pebulutangkis 3 Zaman yang Menyedihkan

Sabtu, 18 April 2020 20:16 WIB
Editor: Prio Hari Kristanto
© On Man Kevin Lee/Getty Images
Menjadi yang terbaik di dunia serta mengoleksi 69 gelar ternyata tetap tak membuat seorang Lee Chong Wei puas, sebab ada sejumlah penyesalan yang membebaninya. Copyright: © On Man Kevin Lee/Getty Images
Menjadi yang terbaik di dunia serta mengoleksi 69 gelar ternyata tetap tak membuat seorang Lee Chong Wei puas, sebab ada sejumlah penyesalan yang membebaninya.

INDOSPORT.COM - Menjadi yang terbaik di dunia serta mengoleksi 69 gelar ternyata tetap tak membuat seorang Lee Chong Wei puas, sebab ada sejumlah penyesalan yang dimilikinya. 

Lee Chong Wei yang lahir pada 21 Oktober 1982 merupakan legenda tunggal putra bulutangkis asal Malaysia. Lee Chong Wei dianggap sebagai salah satu pemain terbaik yang pernah ada di olahraga ini. 

Hal ini tak berlebihan, karena faktanya Lee Chong Wei telah mengoleksi banyak prestasi dan rekor semasa masih aktif bermain. Total, 69 gelar telah berhasil diraihnya dari kurun tahun 2000-2019. 

Kehebatan Lee Chong Wei pun membuatnya disandingkan dengan pebulutangkis legendaris China, Lin Dan, yang tak lain adalah rival abadinya

Kehebatan Lee Chong Wei tak lain terletak pada konsistensinya dan kekuatan fisiknya. Berbeda dengan Taufik Hidayat yang memilih pensiun di usia 33 tahun, Lee Chong Wei yang notabene seumuran terus bermain sampai usia 37 tahun. 

Ia pun dijuluki sebagai pebulutangkis tiga zaman. Chong Wei eksis dalam persaingan Big Four Kings di era 2000-an sampai bersaing dengan nama-nama masa kini seperti Viktor Axelsen, Kento Momota, Chen Long, dan bahkan Chou Tien Chen. 

Sayang, walau memiliki jumlah gelar luar biasa yang mencapai 69 dan bermain di 'tiga zaman', Lee Chong Wei nyatanya tak pernah benar-benar bisa 'bahagia'. 

Pasalnya, Lee Chong Wei gagal mendapatkan sejumlah gelar paling prestisius di dalam koleksi trofinya yakni Olimpiade, gelar juara dunia, dan Thomas Cup, yang mana semuanya dimiliki oleh rival-rival pentingnya seperti Taufik Hidayat dan Lin Dan.

Bayang-bayang Taufik Hidayat

Kehebatan Lee Chong Wei mulai benar-benar diakui pada pertengahan tahun 2000-an. Pasalnya, di era awal 2000-an, Chong Wei berada di bawah bayang-bayang Taufik Hidayat. 

Pebulutangkis asal Indonesia itu memang sudah meraih kesuksesan di usia muda. Taufik menempati peringkat satu dunia di usia masih 19 tahun (2000). 

Ia juga sudah mencicipi gelar juara Indonesia Open dan Piala Thomas (beregu). Taufik pun pernah merasakan final All England di usia belum genap 20 tahun. 

Gara-gara hal ini, karier Lee Chong Wei pun sempat terhambat. Bersama Malaysia, dirinya gagal meraih Piala Thomas dan gelar selevel super series. Sepanjang 2000-2003 belum ada gelar prestisius yang mampir untuk Lee Chong Wei.

Barulah di 2004 ia menggebrak dengan dua gelar individu yakni Malaysia Open, Chinese Taipei Open. Namun, capaian ini jauh dari cukup. 

Di tahun 2004 ia harus menyaksikan Taufik Hidayat merengkuh medali emas Olimpiade Athena di mana dirinya tak masuk dalam unggulan. 

Pada 2005, ia juga harus merelakan gelar juara dunia (World Championship) setelah hanya meraih medali perunggu. Di tahun ini, Taufik Hidayat keluar sebagai juara dunia. 

'Terbentur' Lin Dan

Selepas menurunnya karier Taufik Hidayat di pertengahan 2000-an, Lee Chong Wei pun akhirnya tampil ke permukaan. Berbagai gelar bergengsi berhasil diraihnya di periode 2005-2008 meliputi Denmark Open, Indonesia Open, Japan Open, dan Badminton Asia Championship. 

Ia pun diunggulkan untuk merebut medali emas Olimpiade Beijing tahun 2008. Di periode itu Lee Chong Wei harus bersaing hebat dengan Lin Dan. 

Keduanya memang bersaing cukup ketat dengan tampil saling mengalahkan di tujuh partai final selama tahun 2005-2008. Dari tujuh pertemuan melawan Lin Dan di partai puncak, Lee Chong Wei cuma bisa menang dua kali. 

Lee Chong Wei pun was-was ketika keduanya bertemu di partai final Olimpiade 2008. Namun, dengan reputasinya sebagai pebulutangkis nomor satu dunia plus berbagai gelar yang didapat, Chong Wei bertekad untuk bisa merebut medali emas Olimpiade pertamanya.

Namun malang bagi Chong Wei, di puncak kariernya tersebut, ia tetap gagal merebut medali emas Olimpiade 2008 lantaran dikandaskan Lin Dan dengan dua set langsung 21-12, 21-8. 

Namun Chong Wei tak menyerah. Empat tahun kemudian, keduanya kembali bertemu di partai final Olimpiade London 2012. Lee Chong Wei yang sudah mendekati kepala tiga tentu tak akan menyia-nyiakan peluang ini.

Sayang, lagi-lagi mimpinya harus kandas karena di partai final itu ia kembali kalah dari Lin Dan dalam laga tiga set 21–16, 13–21, 17–20. 

Final Ketiga yang Lebih Menyakitkan

Dua kali kalah di partai final Olimpiade tentu menjadi beban pikiran Lee Chong Wei. Sebab, hanya medali emas Olimpiade dan gelar juara dunia yang belum diraihnya. 

Maklum, sebagai salah satu pebulutangkis terbaik dunia Lee Chong Wei telah meraih banyak pencapaian. Maka dari itu, final Olimpiade Rio 2016  jadi pertaruhan terakhir Lee Chong Wei. 

Lee Chong Wei mencatatkan prestasi luar biasa, di usia uzur dirinya tetap mempertahankan level permainan terbaik dan kembali tampil di puncak Olimpiade di tahun 2016. 

Di final ketiga ini, Lee Chong Wei tidak berjumpa dengan Lin Dan yang telah dua kali mengalahkannya di Olimpiade. Namun, bukan berarti Lee Chong Wei harus berlega hati. 

Sebab, dirinya harus bertemu pebulutangkis China lainnya, Chen Long, yang kala itu sedang meroket serta berusia lima tahun lebih muda darinya. 

Dalam laga final sengit itu, Lee Chong Wei (34 tahun) harus kembali mengecap pahitnya kegagalan. Chong Wei takluk dua set langsung, 21–18, 21–18, dari Chen Long. 

Final 2016 menjadi kesempatan terakhir Lee Chong Wei untuk merebut medali emas Olimpiade. Sebab, pada Olimpiade 2020 dirinya sudah keburu pensiun. Kesedihan Chong Wei bertambah lagi setelah dirinya gagal di tiga partai final Kejuaraan Dunia. 

Lee Chong Wei yang mengoleksi 69 gelar pun harus mengakhiri karier bulutangkisnya dengan kenyataan tak mampu meraih medali emas Olimpiade dan gelar juara dunia. 

1