In-depth

Analisis Tottenham vs Liverpool: Pragmatisme The Reds dan Final yang Buruk

Senin, 3 Juni 2019 06:51 WIB
Editor: Prio Hari Kristanto
© Clive Rose/Getty Images
Perebutan bola antara Moh Salah dengan Vertonghen. Clive Rose/Getty Images Copyright: © Clive Rose/Getty Images
Perebutan bola antara Moh Salah dengan Vertonghen. Clive Rose/Getty Images

INDOSPORT.COM - Sepakan penalti Mohamed Salah pada menit ke-2 dan gol di akhir pertandingan dari Divock Origi sukses mengantarkan Liverpool sebagai juara Liga Champions 2018/19 menumbangkan Tottenham Hotspur. 

Semua mata tertuju pada laga final kompetisi paling bergengsi di Eropa, Minggu (2/6/19) dini hari WIB. Dua tim Inggris saling bertemu di final usai melalui perjalanan yang penuh drama di babak sebelumnya.

Liverpool tampil dengan kekuatan penuh di partai pamungkas ini. Mereka menempatkan trio Mohamed Salah, Sadio Mane, dan Firmino. Disokong oleh Jordan Henderson, Wijnaldum, dan Fabinho di tengah. 

Di benteng pertahanan, bertengger Virgil van Dijk pada posisi bek dan Alisson Becker sebagai kiper, sedangkan di kubu Tottenham hampir tidak ada perubahan seperti saat mereka menaklukkan Man City kecuali kehadiran Harry Kane yang baru pulih dari cedera. 

Ini merupakan formasi terbaik Spurs musim ini di mana mereka memainkan nama-nama inti seperti Dele Alli, Son Heung-min, Cristian Eriksen, Vertonghen, Harry Kane, Lucas Moura sampai Hugo Lloris. 

Dengan kualitas permainan kedua tim, publik pun mengantisipasi sebuah laga yang seru serta dipenuhi jual beli serangan.

Liverpool yang di Bawah Standar

Sayang, harapan para pecinta sepak bola ternyata tak terwujud di laga final ini. Walau berstatus partai puncak, namun kedua tim gagal menampilkan permainan terbaik mereka

Liverpool bermain pragmatis di laga ini di mana lebih kuat menitik beratkan pada pertahan. Kurang rapatnya jarak antara pemain tengah yang diisi oleh Henderson, Wijnaldum dan Milner dengan barisan Trio Mane, Salah, Firmino, membuat serangan mereka sering kandas sebelum menyentuh kotak penalti Tottenham. 

Pada dasarnya kedua tim bermain hati-hati di laga ini dan tak mau terlalu terbuka, namun gol cepat dari Mo Salah pada menit ke-2 terlanjur 'memperparah' kondisi yang ada. Liverpool bermain bertahan. gelandang mereka berada di depan barisan belakang Tottenham. 

Secara statistik, Liverpool hanya memegang 35.4 persen penguasaan bola di laga ini. Liverpool yang sanggup unggul penguasaan bola dari Barcelona pun mendadak bermain pragmatis. 

Liverpool menjadi tim pertama yang menang di laga final walau kalah penguasaan bola semenjak Inter edisi 2009/10. Mereka hanya menciptakan 101 operan di babak pertama, lebih sedikit dari pertandingan lain sepanjang musim ini. 

Mental Pemain Tottenham yang Runtuh

Sayangnya, Tottenham kurang dapat merespons keadaan ini dengan baik. Faktor gol cepat yang diciptakan Mo Salah dari titik putih pada menit ke-2 menjadi penyebabnya. Tottenham terlihat tidak tenang. 

Walau begitu, mereka tetap mampu mengurung pertahanan Liverpool. Gol cepat dari Liverpool memaksa mereka tampil menyerang untuk mengejar gol (tak ada pilihan), sayangnya gagal. 

Tottenham yang tampil dominan telah mengalami pukulan mental sejak kebobolan pada menit awal sehingga serangan mereka menjadi tak fokus. Padahal, mereka biasa tampil lebih baik dari ini. 

Di sisi lain, ini juga bentuk perjudian dari pelatih The Reds, Jurgen Klopp, yang berani tampil pragmatis dengan bertahan walau hanya unggul 1-0. 

Tottenham menguasai bola lebih banyak ketimbang Liverpool. Spurs hampir dua kali lipat melakukan operan ketimbang The Reds. 

Memasuki babak pertama hingga usai pertandingan, Alisson melakukan setidaknya delapan penyelamatan penting ketimbang Lloris yang hanya tiga kali. Ini juga alasan Becker menjadi man of the match

Beruntung bagi Klopp, mereka memiliki sosok Divock Origi. Pemain one shoot one kill sanggup menyelesaikan permainan dengan golnya pada menit ke-87. 

Perpaduan Sepak bola Pragmatis Liverpool dan Tottenham yang Frustasi

Bagi pecinta Liverpool atau Tottenham, mungkin detail ini tak terlalu penting bagi mereka. Namun, bagi penikmat sepak bola keseluruhan, maka laga final ini tergolong membosankan. 

Liverpool hanya menyarangkan tiga tembakan ke gawang sepanjang pertandingan (dua di antaranya berbuah gol), sementara Spurs harus menunggu hingga menit ke-73 untuk mengarahkan tembakan akurat yang untungnya bisa diantisipasi oleh Alisson. 

Jika laga ini sekadar pertandingan biasa, Liverpool vs Tottenham bukanlah duel yang istimewa. Namun, karena berlabel final Liga Champions, ada sisi emosional yang berkecamuk, walau secara kualitas permainan kedua tim tak begitu menghibur.