In-depth

Kisah Jimmy Greaves, Ketika Sebuah Firasat Buatnya Merana di AC Milan

Jumat, 16 Oktober 2020 18:10 WIB
Editor: Nugrahenny Putri Untari
© Keystone/Hulton Archive/Getty Images
Di balik kesuksesan Jimmy Greaves di Liga Inggris, ia merasa tidak bahagia bermain di AC Milan. Copyright: © Keystone/Hulton Archive/Getty Images
Di balik kesuksesan Jimmy Greaves di Liga Inggris, ia merasa tidak bahagia bermain di AC Milan.
Jimmy Greaves Merana di AC Milan

Seperti manusia pada umumnya, Jimmy Greaves pernah dihadapkan pada dilema besar dalam berkarier. Jelang kepindahan ke AC Milan, ia mendadak galau karena harus meninggalkan kampung halamannya.

“Euforia saya soal prospek bermain di Italia mendadak pudar dan seiring berjalannya hari saya mulai merasa ragu. Saya seorang rumahan, dilahirkan dan dibesarkan di Essex,” ujarnya.

“Bermain di area luar London meski sama-sama di Inggris saja tidak terbayangkan, apalagi di luar negeri. Saya pun mulai mengevaluasi lagi, saya merasa nyaman dengan gaya hidup London,” tambahnya lagi.

Selain itu, salah satu yang membuat batin Greaves bergejolak adalah ia adalah seorang kepala keluarga di usia yang masih muda. Ia tidak pergi ke bar atau restoran untuk berfoya-foya.

Kehidupan London dirasanya begitu menyenangkan dan pasti akan dirindukannya ketika nanti sudah pindah ke Italia.

Jimmy Greaves memainkan laga terakhirnya pada 29 April 1961 saat menghadapi Nottingham Forest. Sebagai ‘hadiah’ perpisahan, ia pun diberi amanat menjadi kapten di pertandingan yang berakhir dengan kemenangan The Blues 4-3.

Gagal Bersinar di AC Milan

Mungkin Greaves sudah mendapat firasat ketika ia mulai merasa ragu pindah ke Italia. Ada yang bilang, perasaan tidak enak di hati bisa jadi sebuah pertanda.

Benar saja, karier Greaves bersama Rossoneri bisa dibilang sangatlah singkat. Dari pemain yang berstatus top skor Chelsea sepanjang masa (pada waktu itu) dengan 132 golnya, di Milan ia seolah bukan siapa-siapa.

Terlebih lagi, situasi semakin kurang menguntungkan lantaran pelatih utama yang mendatangkan Greaves ke AC Milan, Giuseppe Viani, terpaksa mundur sejenak dari tugasnya lantaran kondisi kesehatan yang menurun.

Tugasnya pun digantikan oleh Nereo Rocco yang dikenal dengan kedisiplinan tinggi serta gaya melatihnya membuat Greaves syok. Ia bahkan tidak segan-segan menyebut Rocco telah membuatnya hidup seperti di neraka.

Neraka, mungkin istilah yang tepat ketika menyebut kehidupan sengsara yang dilalui Greaves di Italia. Ia bahkan kerap menyelinap untuk sekadar merokok di kamar mandi, ‘kabur’ sejenak demi menenangkan hatinya yang diwarnai kegundahan.

Rasa tidak bahagia ini pun berbuntut ke performanya di lapangan. Ketegangan antara dirinya dan Rocco semakin menjadi-jadi, ditambah Rossoneri yang berniat mendatangkan Dino Sani dari Boca Juniors.

Kedatangan Dino Sani pun seolah jadi ketok palu berakhirnya kisah Jimmy Greaves dan AC Milan. Tottenham Hotspur dan Chelsea tampil sebagai calon penyelamat dengan meminangnya kembali ke Inggris.

Akhirnya, Greaves hengkang ke Spurs dan kembali bermain di tanah kelahirannya, tempat yang sangat dicintai dan dirindukannya. Benar adanya, bahwa kebahagiaan akan membuat seseorang bersemangat dalam melakukan sesuatu.

Greaves pun tampil trengginas, bahkan lebih menggila ketimbang saat ia bermain untuk Chelsea. Bersama Tottenham Hotspur, tercatat ia telah tampil di 379 pertandingan dan mencatatkan 266 gol.

Catatan ini tentu bak langit dan bumi saat Greaves bermain di AC Milan. Saat berseragam Rossoneri, ia hanya tampil 14 kali dan mencetak 9 gol.