Ramayana yang Terlupa dari Dunia Tinju

Senin, 1 Februari 2016 07:30 WIB
Kontributor: Fajar Kristanto | Editor: Galih Prasetyo
© Fajar Kurni/INDOSPORT
Junai Ramayana Copyright: © Fajar Kurni/INDOSPORT
Junai Ramayana
Dulu dipuja, kini tak dikenal

Ketika awal 2015 lalu demam batu akik melanda masyarakat, dia pun juga ikut jualan batu akik di depan kios mungil miliknya. Dia lantas memamerkan akik jenis kecubung ke awak INDOSPORT, safir hingga bacan yang sudah pakai emban. 

"Yang penting laku dan hasilnya untuk keluarga, meski tak banyak, tapi lumayan agar dapur tetap mengepul," ujar Junai.

Hanya sedikit para pecinta tinju yang mengetahui sosok seorang Junai. Pria asal Aceh ini menapaki dunia adu bogem ini bermula dari tinju amatir di Medan pada 1986an. Kemudian dia memutuskan hijrah ke Surabaya dan terjun di tinju profesional dengan berlatih di Sasana Sawunggaling milik Setijadi Laksono.

Bergabung dengan sasana terbaik, karir Junai sebagai petinju pun semakin menanjak naik. Pria yang lahir pada 20 Juni 1970 ini mampu merebut sabuk juara IBF Intercontinental (Int) kelas bantam, setelah mengkandaskan Fransisco Aroyo (Panama) pada 1992 silam di Surabaya. Saat itu, Junai mampu menang KO ronde 4.

Pada tahun yang sama, dirinya juga mempertahankan gelar IBF Intercontinental kelas bantam setelah mengalahkan Roger Drama. Kesuksesan Junai meraih IBF Int, membuat namanya meroket. Dia mampu mempertahankan gelar juara sebanyak dua kali. Namun selepas itu, semangat tandingnya merosot jauh, ketika bertanding melawan Fadila Gonzales di Saragoza, 1994 silam.

"Sebenarnya, saat itu wasit sudah akan memenangkan saya. Namun, ada pemberitahuan kalau salah satu juri melakukan kekeliruan dalam menilai. Protes pun tiada guna. Akhirnya, sabuk juara saya melayang dan direbut Gonzales," kenang Junai yang memiliki rekor tanding 65 kali tanding, 4 kali kalah, 3 seri dan 17 menang KO ini.

116