Bahas Kasus All England di Mata Najwa, Ketua KOI Debat Panas dengan Pengamat Hukum Olahraga

Rabu, 24 Maret 2021 22:04 WIB
Editor: Yosef Bayu Anangga
© Shintya Maharani/INDOSPORT
Ketua KOI, Raja Sapta Oktohari, berdebat panas dengan ahli hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto soal perlakuan BWF terhadap kontingen Indonesia di All England. Copyright: © Shintya Maharani/INDOSPORT
Ketua KOI, Raja Sapta Oktohari, berdebat panas dengan ahli hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto soal perlakuan BWF terhadap kontingen Indonesia di All England.

INDOSPORT.COM – Ketua KOI, Raja Sapta Oktohari, berdebat panas dengan ahli hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto soal perlakuan BWF terhadap kontingen Indonesia di All England.

Dunia bulutangkis Indonesia belum lama ini diguncang insiden yang terjadi di All England. Seperti diketahui, kontingen Indonesia di ajang tersebut dipaksa mengundurkan diri setelah berada satu pesawat dengan penumpang yang positif Covid-19.

Keputusan ini diambil BWF berdasarkan aturan pemerintah Inggris yang mewajibkan pihak yang satu pesawat dengan penumpang yang positif Covid-19 untuk menjalani isolasi 10 hari. Dengan demikian, kontingen bulutangkis Indonesia pun tidak bisa tampil di All England.

Insiden tersebut kemudian dibahas di acara Mata Najwa yang disiarkan salah satu TV swasta, Rabu (24/03/21) malam WIB.

Perdebatan panas pun terjadi di acara Mata Najwa tersebut antara Raja Sapta Oktohari, ketua Komite Olimpiade Indonesia, dengan Eko Noer Kristiyanto (Eko Maung), pengamat hukum olahraga.

Seperti diketahui, Komite Olahraga Indonesia (KOI) mengajukan gugatan kepada mahkamah arbitrase olahraga (CAS) tentang keputusan BWF yang dinilai diskriminatif itu. Namun, upaya itu dianggap tidak perlu oleh Eko Maung.

“Gugatan itu adalah bentuk tekanan kita pada BWF, yang sampai saat ini belum mengaku bersalah. Kalau soal maaf-maafan, pas lebaran kita bisa maaf-maafan,” kata Ketua Komite Olimpiade Indonesia, Raja Sapta Oktohari.

“Terkait kerugian kepada atlet, ini harus ada yang bertanggung jawab. Tidak boleh (panitia) berlindung di balik peraturan Inggris yang memang sebelumnya sudah ada.”