Koreksi Insiden di SUGBK, Menuju Sepakbola Damai
Tuntutan Kemenpora agar iklim kompetisi tampil lebih sehat, nampaknya masih belum bisa dipenuhi. Bentrokan antar suporter masih acap terjadi.
Meski dari kacamata suporter, euforia datangnya kompetisi bak hujan sehari setelah kemarau bertahun - tahun. Setiap komunitas pendukung, termasuk The Jakmania menyambut antusias ini dengan gaya sendiri.
Bagi The Jakmania, kompetisi adalah angin berlayar. Apapun yang menjadi resiko akan diambil demi menemani klub berlayar mengarungi samudera kompetisi.
Tak ayal, berbagai hal dilakukan oleh para penggila klub. Mulai dari aksi simpayik hingga segala macam aksi 'norak' acap kali dipertontonkan sebagai bagian dari kecintaan mereka terhadap klub yang dipuja.
Sayang, aksi ini tidak mendapat frekuensi yang sama dengan pihak keamanan. Para suporter masih dianggap pembeban tugas bagi aparat kepolisian.

Prosedur tetap pengawalan pertandingan masih disejajarkan dengan penanganan aksi unjuk rasa melalui aturan Protap Kapolri/1/X/2010. Hal ini membuat tindakan represif masih menjadi ujung tombak mengawal para pendukung yang ingin menikmati pertandingan.
Tidak jarang bahkan para suporter mendapat perlawanan dari ratusan polisi bersenjata lengkap. Kegagalan polisi yang secara gugus tugas juga berperan sebagai pengayom untuk mencegah teror dengan upaya persuasif masih acap terjadi.
Tidak jarang, suporter dan masyarakat diteror dengan status siaga 1 jelang pertandingan yang dianggap berpotensi kisruh. Padahal ada unsur dimana polisi juga mengajak semua pihak untuk menolak kekerasan secara persuasif, seperti diatur dalam Protap.
Himbauan ini justru melahirkan teror baru, di mana semua pihak merasa terancam. Akibatnya, masyarakat secara spontan membekali diri dengan semangat melindungi nyawa masing - masing.
Dalam beberapa kesempatan, sejumlah oknum kepolisian juga disinyalir melakukan tindakan provokatif. Padahal dalam Protap diatur larangan untuk bersikap arogan dan terpancing oleh massa ( Pasal 1 poin d).
"Gak semua polisi sih, ada juga polisi yang baik, kaya ngasih rokok daripada kita keluar untuk beli. Tapi ata juga yang kejam, gak pake ngomong maen tendang - tendang aja," ujar Ade Budiansah, Sekretaris The Jakmania Korwil Kalideres.
Bahkan usai kejadian insiden yang pecah di SUGBK lalu, beberapa aparat juga berperilaku secara tidak profesional. Direktur Resersi dan Kriminal Polda Metro Jaya, Kombes Pol Krishna Murti mengunggah sebuah foto di akun Instagram pribadinya yang bernada mengancam.

"Kalian adalah negara kami akan tegakkan hukum secara adil. Negara tidak boleh kalah oleh supporter brutal," tulis Kombes Krishna Murti
Hal ini juga diikuti oleh seorang yang diduga oknum polisi yang memposting sebuah foto bernada ancaman di akun Facebook.

Menurut pengamat Kepolisian, Bambang Widodo Umar, hal ini bisa memperburuk citra kepolisian. Masyarakat akan semakin terteror dengan kewenangan yang seolah tak terbatas dari para penegak hukum.
"Ini yang sangat salah, jangan benturkan polisi dengan sipil dengan melontarkan kalimat atau foto yang berindikasi bisa memicu aksi balasan. Apa yang dilakukan Kombes Krishna Murti bisa mempermalukan dirinya dan institusi kepolisian," kata Bambang.
Menurut Bambang, ada baiknya aparat keamanan juga berbenah soal penanganan pertandingan. Penyesuaian personil yang akan berjaga juga penting dilakukan selain memperketat personil di lapangan.
"Masyarakat Indonesia punya kecenderungan primordial yang tinggi, jadi penting untuk memilih personil yang berjaga," ujar Bambang.
Selain itu, kepolisian juga dianjurkan untuk bisa lebih teliti soal psikologi dari personil yang berjaga saat pertandingan. Karena dalam susasana tak terkendalai, hal kecil bisa memancing gelombang kericuhan yang lebih besar.