Pada masa 1920-an sepakbola di Indonesia memang sedang meninggi. Tak hanya dimainkan oleh para kalangan londo dan kelas atas, sepakbola juga dimainkan oleh kalangan pribumi. Embrio sepakbola di nusantara memang digairahkan oleh beberapa klub Belanda seperti Rood-Wit di Batavia pada tahun 1893. Sejak saat itu, sepakbola mulai mengular sebagai olahraga favorit di nusantara.
Di Kota Solo, beberapa pergerakan nasional memang terjadi. Bahkan tokoh nasional Samanhudi lahir di Kota Solo. Beliau merupakan pendiri Sarekat Dagang Indonesia, sebuah organisasi pergerkan nasional yang awalnya adalah wadah bagi para pengusaha batik di Surakarta. Alur pergerakan yang mulai merembet ke sendi-sendi olahraga akhirnya membuat beberapa klub sepakbola lokal di Solo berniat mendirikan bond (perkumpulan) sepakbola.
Tiga tokoh penting dalam pendirian Persis Solo adalah Sastrosaksono dari klub Mars dan R. Ng. Reksodiprojo dan Sutarman dari klub Romeo. Ketiganya mendirikan bond sepakbola dengan nama Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB). Penggunaan nama Belanda memang banyak digunakan oleh bond-bond nasionalis pada saat berdiri. Hal tersebut tak lain karena pengaruh pemerintah kolonial Belanda yang masih mengawasi pergerakan kaum pribumi.
Pada akhirnya, Soemokartiko merubah nama VBB dengan nama Indonesia, Persis Solo. Dengan nama Persis Solo, bond ini menjadi tim besar Indonesia. Saat sepakbola mulai menjadi pergerakan massive untuk Indonesia merdeka, Persis bersama tujuh bond nasionalis lainnya mendirikan PSSI di Societat Hadiprojo, Yogyakarta, tahun 1930.
Persis juga menjadi pelopor Kampeonturnoi PSSI pertama pada tahun 1931. Saat itu, Voetballbond Indonesia Jacatra (VIJ) atau yang sekarang dikenal sebagai Persija Jakarta keluar sebagai juara edisi perdana kompetisi PSSI.
Era 1930-an menjadi era persaingan Persis Solo dengan VIJ dalam hal mencari gelar juara. Persis baru bisa keluar dari bayang-bayang VIJ dan PSIM Yogyakarta pada tahun 1935. Menurunnya prestasi VIJ dan PSIM membuat Persis tancap gas.
Tim yang bermarkas di Stadion Sriwedari itu menjadi juara dua kali beruntun tahun 1935 dan 1936. Tahun 1938, VIJ mampu memotong torehan juara Persis yang saat itu final kompetisi dimainkan di Sriwedari, Solo. Setelah itu Persis kembali tancap gas pada kompetisi PSSI 1939 hingga 1948.
Selain sebagai klub bersejarah, Persis juga punya cerita menarik. Persaingannya dengan VIJ dan PSIM Yogyakarta di masa lalu, hingga menempati Stadion Sriwedari menjadi kisah sejarah yang patut diketahui oleh generasi sepakbola masa kini.
Hingga kini, Persis belum lagi eksis di kasta tertinggi sepakbola Indonesia. Tim pujaan warga Solo ini masih berkutat di Indonesia Soccer Championship B, dan masih berusaha kembali ke habitatnya sebagai klub besar Indonesia.
INDOSPORT mencoba bercerita ringan kisah menarik Persis Solo, tim yang pernah dicintai oleh Sri Susuhunan Pakubowono X itu.