Liga Inggris

Kisah Dominic Calvert-Lewin Melawan Rasisme dan Kekagumannya pada Muhammad Ali

Sabtu, 17 Oktober 2020 17:09 WIB
Editor: Zulfikar Pamungkas Indrawijaya
© Tony McArdle/Everton FC via Getty Images
Penyerang Everton, Dominic Calvert-Lewin menceritakan kisahnya yang mengalami tindakan rasial dan kekagumannya pada sosok Muhammad Ali. Copyright: © Tony McArdle/Everton FC via Getty Images
Penyerang Everton, Dominic Calvert-Lewin menceritakan kisahnya yang mengalami tindakan rasial dan kekagumannya pada sosok Muhammad Ali.

INDOSPORT.COM – Nama Dominic Calvert-Lewin menanjak seiring dengan apiknya performa Everton di pekan-pekan awal Liga Inggris 2020/21. Penampilan apik ini tak lepas dari keinginannya membungkam mulut orang-orang yang melakukan tindakan rasial kepadanya saat kecil.

Calvert-Lewin secara perkasa menunjukkan ketajamannya bersama Everton. Sejak pekan perdana Liga Inggris 2020/21 hingga pekan keempat, ia telah menggelontorkan enam gol dalam empat pertandingan saja.

Bahkan di kompetisi lain, yakni Piala Liga Inggris, kran gol Calvert-Lewin tak terhenti di mana ia mampu mencetak hattrick keduanya di musim 2020/21.

Torehan itu membawanya masuk ke skuat Timnas Inggris yang di mana di laga debutnya ia mampu mencetak gol pertamanya bersama The Three Lions. Baginya skenario di tahun 2020 ini merupakan sebuah kisah di dongeng-dongeng masa kecilnya.

Berbicara mengenai masa kecil, Calvert-Lewin menjalani kehidupan yang berat sejak usianya baru menginjak 6 tahun. Ia terlahir dari ayah yang memiliki ras Afrika atau Karibia dan ibu yang asli orang Inggris.

Dengan keadaan terlahir dari keluarga yang memiliki ras berbeda, Calvert-Lewin sejak kecil mengalami tindakan rasial dari orang lain atau bahkan teman sepermainannya.

Pengalaman menghadapi rasisme ini ia jabarkan sebagai pengalaman pahit di masa kecil yang membuatnya kuat berkat dukungan ayah dan ibundanya di rumah.

“Saya pikir saya mungkin saat itu berusia 6 tahun ketika pertama kali mengalami rasisme. Pada usia itu, orang yang berbuat rasis kepadamu mungkin tak mengerti apapun dan paham apa yang mereka katakan,” tutur Calvert-Lewin.

Pengalaman yang paling Dominic Calvert-Lewin ingat adalah saat dirinya mendapat perlakuan rasial dari teman baiknya di sekolah. Saat itu, penyerang berusia 23 tahun ini marah dan meluapkannya di rumah.

Beruntung ada ayah dan ibunya yang secara bijak menenangkannya dan menasehatinya untuk mencintai diri sendiri dan warna kulit yang ia miliki.

“Orang yang pertama kali melakukannya (rasis) adalah salah satu teman baikku di sekolah. Saya ingat saya sangat marah saat itu. Saya lalu pergi ke rumah dan menemui dan mengadukannya kepada ayah dan ibuku.

“Mereka (ayah dan ibu) selalu berkata kepadaku untuk tetap merasa nyaman dengan warna kulitku dan selalu mencintari diriku entah apapun kondisinya,” kenangnya.

Rasisme yang Calvert-Lewin terima pun berlanjut saat dirinya menjadi pemain profesional. Ia mengenang berapa banyak ujaran rasis yang ia terima selama bermain dan bahkan di dunia maya.

Untuk rasisme yang ia terima di dunia nyata pun sempat diterima rekan seprofesinya seperti Wilfried Zaha (Crystal Palace) dan David McGoldrick (Sheffield United). Berbeda dengan keduanya, Calvert-Lewin memilih diam dan tak mengekspos rasisme yang ia terima.

“Itu (rasisme) ada di Instagram-mu, pesan langsung atau di mana pun. Biasanya rasisme itu datang dari orang tak dikenal yang membuat akun baru.

“Saya pernah mengalami rasisme dan saya pikir karena saya merasa nyaman dengan apa yang saya miliki, jadi saya tak membiarkan perbuatan rasial yang diarahkan untukku mempengaruhiku,” ujarnya.

Cara Calvert-Lewin melawan rasisme di Inggris pun ia terapkan saat bermain di atas lapangan. Ia menjadi salah satu pemain yang turut mengkampanyekan program ‘No Room For Racism’ yang dibuat pihak Liga Inggris.

Keinginannya berpartisipasi melawan rasisme sendiri tak lepas dari idolanya sejak kecil, yakni Muhammad Ali. Sebagaimana diketahui, petinju legendaris ini kerap menyuarakan anti rasisme di puncak kariernya sebagai atlet.

Hal itu yang ingin ditiru Calvert-Lewin. Ia tahu Muhammad Ali adalah petinju dan atlet yang berbeda sepertinya. Namun dari idolanya itu, ia berharap memiliki kharisma yang ditampilkan petinju tersebut saat berjuang melawan rasisme.

“Saya sangat menyukai Muhammad Ali dan saya memiliki posternya di atas langit-langit kamarku. Dia adalah role model untuk meskipun saya tak begitu mengenal dirinya,” ucap Calvert-Lewin.

“Saya tahu dia adalah petinju dan apa yang ia perjuangkan tapi mungkin tak secara detil. Dia adalah seseorang yang saya lihat begitu juga dengan kharismanya. Saya banyak belajar hal baik darinya,” pungkasnya.

Jika Muhammad Ali melawan rasisme dengan tinju dan tariannya di atas Ring, Dominic Calvert-Lewin pun berharap bisa mengikuti jejak idolanya lewat sepak bola dan gelontoran golnya.

Mungkin impiannya bisa terkabul dalam waktu dekat, saat di mana dirinya terus mempertahankan konsistensinya dan menunjukkan kapasitasnya tak hanya sebagai pemain melainkan juga sebagai manusia biasa.