Bola Internasional

Burnley FC, Tim Kolot Inggris yang Berpotensi Hentikan Karier Mourinho di Tottenham

Minggu, 28 Februari 2021 00:45 WIB
Editor: Subhan Wirawan
© Reuters
Sean Dyche dan para pemain Burnley Copyright: © Reuters
Sean Dyche dan para pemain Burnley

INDOSPORT.COM – Melihat kekuatan Burnley FC, tim dengan gaya main kolot dan skuad paling Inggris yang berpotensi hentikan karier kepelatihan Jose Mourinho di Tottenham musim ini.

Dalam laga lanjutan Liga Inggris pekan ke-26 minggu ini, Burnley menjalani partai sengit dengan menghadapi tuan rumah Tottenham Hotspurs di Tottenham Hotspur Stadium pada Minggu (28/02/21) malam WIB.

Nasib Jose Mourinho bersama Tottenham pun kemungkinan akan ditentukan pada laga ini. Melihat rapor The Lilywhites yang baru sekali menang dalam lima laga terakhir Liga Inggris, Mou bisa didepak andai kembali menelan kekalahan atas Burnley.

Secara statistik di papan klasemen, Tottenham memang lebih unggul dari Burnley. Jelang partai pekan 26 nanti, Tottenham bertengger di urutan 9 sementara Burnley jauh di bawah di posisi ke-15.

Namun jika berbicara fakta di luar lapangan, Tottenham tidak boleh menganggap enteng Burnley. Apalagi skuad arahan Sean Dyche tersebut sempat buat kejutan pada musim lalu.

Sepanjang sejarah, Burnley tercatat sebagai salah satu klub tertua di Inggris dan sempat menuai prestasi pada era Football League First Division.

Akan tetapi saat kompetisi berganti ke Premier League pada 1992 silam, klub yang bermarkas di Turf Moor ini mulai jarang terdengar dan lebih sering berkutat di EFL Championship atau kasta kedua Liga Inggris.

Tercatat, Burnley baru enam kali berada di Premier League dan musim ini The Clarets berhasil memecahkan rekor dengan bertahan di liga teratas Inggris selama empat tahun beruntun.

Terdapat beberapa hal menarik tentang Burnley, salah satunya adalah kebiasaan mereka yang sangat jarak mendatangkan pemain dari luar Inggris serta kegemaran menggunakan pelatih dengan gaya main yang kolot.

Dalam 20 tahun terakhir, setidaknya hanya ada empat pelatih yang mampu menangani Burnley lebih dari 100 pertandingan. Mereka adalah Stan Ternent, Steve Cotterill, Owen Coyle hingga Sean Dyche yang bertahan sampai sekarang.

Menariknya, dari keempat pelatih tersebut memiliki kesamaan gaya main yakni menggunakan formasi 4-4-2, taktik usang yang sempat berjaya pada era Sir Alex Ferguson tahun 2000an silam.

Namun meski tak lagi populer dan kerap kalah saing dengan taktik dinamis seperti 4-3-3 maupun 4-2-3-1, manajemen Burnley tampaknya nyaman menggunakan pelatih yang masih mengusung formasi 4-4-2.

Sehingga tak heran jika Sean Dyche yang mendapat julukan ‘The Boring One 442’, bisa bertahan hingga 9 tahun lamanya bersama Burnley.

Selain taktik jadul yang selalu dipercaya, julukan tim tradisional Inggris makin melekat ke tubuh Burnley jika melihat dari daftar pemain yang mereka miliki dalam beberapa musim terakhir.

Tercatat sejak 2018 silam, Burnley merupakan tim yang paling sedikit menggunakan pemain luar Inggris ketimbang 20 tim peserta Premier League lainnya.

Bahkan pada musim 18/19 lalu, Burnley cuma menggunakan 14 pemain asing dari total 33 pemain dalam skuad inti mereka. Hanya AFC Bournemouth (16) yang paling mendekati angka Burnley.

Bukan tanpa alasan mengapa skuad Burnley sangat jarang dihuni pemain luar Inggris. Sebab, manajemen The Clarets lebih mengutamakan para pemain asli Britania dan para pemain berkulit putih untuk direkrut.

Bahkan pada musim ini, hanya Richard Nartey yang jadi pemain berkulit gelap di skuad Burnley. Pemain berdarah Ghana tersebut didatangkan Burnley pada 24 November silam.

Walau berkulit gelap, Richard Nartey tertolong dengan garis keturunannya yang asli Inggris dan lahir di kota sebesar London, sehingga membuat Burnley tetap berniat memboyongnya.

Bukan cuma kebijakan manajemen, aksi rasis suporter juga jadi alasan mengapa sangat jarang pemain dengan kulit berwarna serta berasal dari luar Inggris bisa bermain di Burnley.

Para penggemar Burnley termasuk yang paling kentara menunjukan sikap rasis. Bahkan salah satu penyerang mereka, Andre Gray, sampai harus pergi dari Turf Moor dan mendarat di Watford yang lebih “ramah” terhadap para pemain dengan kulit berwarna.