In-depth

Sejarah Keajaiban Istanbul 2005, Panggung Kebangkitan Heroik Liverpool

Selasa, 25 Mei 2021 08:05 WIB
Editor: Indra Citra Sena
© Liverpool FC
Segenap pemain Liverpool bersorak dalam seremoni juara Liga Champions usai mengalahkan AC Milan di final, 25 Mei 2005. Copyright: © Liverpool FC
Segenap pemain Liverpool bersorak dalam seremoni juara Liga Champions usai mengalahkan AC Milan di final, 25 Mei 2005.

INDOSPORT.COM - Luar biasa, menakjubkan, dan sulit dipercaya. Kata-kata tersebut adalah komentar yang paling sering terdengar berkaitan dengan keberhasilan Liverpool merengkuh trofi Liga Champions 2004-2005 secara dramatis di Stadion Olimpiyat Attaturk, Turki.

Liverpool mengalahkan AC Milan setelah melalui perjuangan panjang nan heroik selama 120 menit plus babak adu penalti. Peristiwa bersejarah yang belakangan dikenal dengan sebutan Keajaiban Istanbul.

Final edisi kali ini memang meninggalkan kesan amat dalam bagi setiap penonton. AC Milan duluan memamerkan kematangan kelas wahid sekaligus membuktikan status mereka sebagai favorit juara.

Sebaliknya, Liverpool tampil loyo bak tim medioker. Gawang Jerzy Dudek bahkan sudah bergetar akibat sontekan jarak dekat Paolo Maldini ketika pertandingan belum genap bergulir satu menit, tepatnya pada detik ke-54.

Gol Maldini membuat pemain AC Milan semakin percaya diri dan bernafsu menambah keunggulan. Hernan Crespo mengubah skor menjadi 3-0 sebelum turun minum berkat sepasang aksi brilian pada menit ke-38 dan 43.

Tak cuma sektor ofensif, lini pertahanan AC Milan juga bermain impresif sepanjang babak pertama. Kuartet Cafu, Alessandro Nesta, Jaap Stam, dan Paolo Maldini sama sekali tidak mengizinkan pemain Liverpool menebar ancaman berbahaya ke gawang Nelson Dida.

Keunggulan tiga gol tanpa balas ibarat meletakkan satu kaki AC Milan di tangga juara Liga Champions. Apa susahnya menjaga skor yang terbilang telak ini selama 45 menit sampai wasit membunyikan peluit akhir?

Namun, periode peralihan babak rupanya membawa pencerahan kepada Liverpool. Salah satu pemain yang terlibat, Luis Garcia, pernah menceritakan momen tak terlupakan tersebut kepada sejumlah wartawan dalam Tur Liverpool 2015 di Brisbane, Australia.  

“Nyanyian dan teriakan suporter terdengar sampai ruang ganti. Hal itu menjadi titik balik pertandingan. Liverpool seperti kembali ke lapangan dengan 12 pemain berkat para keberadaan Liverpudlian di belakang kami,” ujar Luis Garcia.

Babak kedua terasa bak mimpi buruk bagi AC Milan. Liverpool berhasil menyamakan skor hanya dalam tempo enam menit melalui sundulan Steven Gerrard (54'), tembakan Vladimir Smicer (56'), dan sepakan Xabi Alonso menyambar bola muntah eksekusi penalti yang mampu diblok Dida (60').

Dari sini, keadaan psikologis kedua tim mengalami pertukaran secepat kilat. Kepercayaan diri dan semangat juang Liverpool berlipat ganda, sedangkan mentalitas AC Milan ambruk sampai akhirnya harus mengakui keunggulan Si Merah di babak adu penalti, 25 Mei 2005.

Sebanyak tiga eksekutor Liverpool sukses menunaikan tugasnya, yakni Dietmar Hamann, Djibril Cisse, dan Vladimir Smicer. Penendang Milan cuma dua yang berhasil memasukkan bola, yaitu Jon Dahl Tomasson dan Ricardo Kaka.

Andriy Shevchenko menjadi pesakitan akibat menyia-nyiakan kesempatan penalti terakhir AC Milan. Konsentrasi striker tajam berkebangsaan Ukraina itu buyar begitu saja karena gerakan eksentrik yang secara spontan diperlihatkan oleh kiper Jerzy Dudek.

Sungguh pemandangan yang ironis mengingat Sheva, sapaan akrab Andriy Shevchenko, merupakan penentu kemenangan AC Milan dalam situasi adu penalti melawan Juventus di final Liga Champions dua tahun terdahulu.