In-depth

Mirisnya Bulutangkis Inggris, Dulu Berjaya Sekarang Nyaris Bangkrut

Selasa, 1 Desember 2020 19:59 WIB
Editor: Arum Kusuma Dewi
© Mark Thompson/Getty Images
Mantan pemain badminton asal Inggris, Gail Emms. Copyright: © Mark Thompson/Getty Images
Mantan pemain badminton asal Inggris, Gail Emms.

INDOSPORT.COM Inggris terbilang sebagai rumahnya olahraga bulutangkis. Pernah memiliki atlet-atlet pionir yang kekuatannya ditakuti seluruh dunia, kini prestasi mereka terancam karena minimnya pendanaan dan perhatian pemerintah.

Minimnya kepopuleran olahraga ini, perhatian pemerintah, hingga kurangnya talenta dengan prestasi konsisten menjadi lingkaran setan untuk bulutangkis di Negeri Ratu Elizabeth itu.

Padahal, pebulutangkis-pebulutangkis Inggris sempat memberikan kejutan di event-event top seperti Olimpiade dan Kejuaraan Dunia. Total mereka meraih tiga medali di Olimpiade dan 24 medali di Kejuaraan Dunia BWF.

Inggris bahkan punya turnamen bulutangkis tertua dan bergengsi hingga saat ini, yakni All England. Namun lagi-lagi, mereka tak punya perwakilan yang sanggup juara di rumah sendiri sejak Nathan Robertson/Gail Emms juara 15 tahun silam.

Pasang surut prestasi Inggris di kancah tepok bulu dunia pun membuat kiprah para pemainnya terancam jelang Olimpiade Tokyo yang diadakan tahun depan.

Kekurangan Dana karena Dianaktirikan

Sepinya peminat warga Inggris dalam bulutangkis membuat cabor ini sempat dianaktirikan oleh pemerintah. Pada 2016 lalu, Badminton England harus kehilangan 10 persen pendanaan dari Badan Olahraga Inggris karena kekurangan partisipasi di demografis usia 26 tahun ke atas.

Mengutip laporan Active People Survey, Badminton England kehilangan 28.300 partisipan antara Maret 2015 hingga Maret 2016. Itulah yang mendasari keputusan pemerintah untuk memangkas pendanaan untuk bulutangkis bersama cabor lainnya.

Pada 2016 Guardian juga melansir bahwa bulutangkis dan empat cabor lainnya kehilangan pendanaan untuk persiapan jelang Olimpiade Tokyo 2020. Padahal, Marcus Ellis/Chris Langridge baru saja membawa pulang medali perunggu dari Olimpiade Rio 2016.

Untuk Olimpiade 2016, Badminton England memang mendapat kucuran dana sebesar 5,74 juta pounds (sekitar Rp108 miliar) dengan target meraih satu medali.

Para pemain pun tak lantas putus asa dengan berupaya melakukan banding. Pada Februari 2018, ganda campuran Chris dan Gabby Adcock akhirnya mendapat suntikan dana dengan dimasukkan dalam program ‘rencana dukungan medali’.

Dalam program tersebut, pemerintah mengucurkan dana investasi sebesar 630 ribu pounds (sekitar Rp12 miliar) untuk sisa masa persiapan jelang Olimpiade Tokyo.

Sementara itu hingga tahun lalu, para pebulutangkis yang diproyeksikan ke Olimpiade Tokyo juga masih dalam ketidakjelasan. Pemain seperti Ellis/Langridge harus menambal pemasukan mereka dengan rajin mengikuti turnamen, termasuk bermain di liga profesional India.

“Saya sudah mendapatkan manfaat dari sistem ini selama 10 tahun dan saya tak akan bisa sukses tanpa bantuan tersebut. (Namun) sekarang sedih melihat pemain-pemain berusia 18 tahun yang berbakat jadi kebingungan karena mereka tak melihat masa depan di mana mereka bisa mendapat dukungan,” tutur Marcus Ellis pada Yorkshire Post, Februari 2019 lalu.

Tunggal putri kelahiran Skotlandia, Kirsty Gilmour, juga angkat suara terkait berhentinya pendanaan untuk bulutangkis. Ia harus putar otak untuk mendapatkan sponsor dari kalangan swasta.

Gilmour mengklaim sebagai seorang pemain bulutangkis, ia harus punya setidaknya 30 ribu pounds (sekitar setengah miliar rupiah) untuk biaya mengikuti turnamen-turnamen internasional selama satu tahun.