In-depth

Kisah Persipura Terdegradasi, Rasis dan Aksi Heroik Class of '86

Rabu, 22 April 2020 11:08 WIB
Penulis: Sudjarwo | Editor: Theresia Ruth Simanjuntak
© Sudjarwo/INDOSPORT
Kondisi terkini Stadion Mandala, markas Persipura Jayapura yang dulu nyaris menjadi kebon singkong. Copyright: © Sudjarwo/INDOSPORT
Kondisi terkini Stadion Mandala, markas Persipura Jayapura yang dulu nyaris menjadi kebon singkong.
Sekumpulan Remaja Penyelamat Persipura

Sepak terjang Nando cs bersama beberapa jebolan PPLP 86 lainnya boleh dibilang menjadi cikal bakal sejarah baru Persipura menuju era sepak bola profesional. Tahun 1990, mereka berhasil menjuarai turnamen antar PPLP se-Indonesia.

Setelahnya, Nando Fairyo dan kolega diplot untuk membawa Persipura promosi ke divisi utama di bawah arahan pelatih Hengky Heipon. Namun, mereka gagal di kesempatan pertama itu. Skuat PPLP ini lalu dikumpulkan jadi satu dalam pemusatan latihan (TC) pada 1992 silam jelang menghadapi pesta olahraga PON XIII 1993 di Jakarta.

Gayung bersambut, generasi Class of '86 dengan tambahan beberapa pemain, tampil mengejutkan di ajang PON XIII. Saat itu, mereka dilatih oleh Festus Yom. Legenda Persipura era 70-an itu akhirnya berhasil mengantarkan Nando cs berkalung medali emas usai mengalahkan Aceh di partai final yang diwarnai gol "pantat" David Saidui.

Sebulan kemudian, dengan materi yang sama, mereka lantas diberi kesempatan lagi untuk memperkuat Persipura. Namun, tongkat kepelatihan beralih dari Festus Yom ke HB Samsi yang kemudian berhasil membawa Persipura kembali ke kasta tertinggi kompetisi sepak bola Indonesia.

Tim PON Papua 1993 yang berisikan sekumpulan remaja jebolan PPLP hanya membutuhkan tiga bulan untuk membawa Persipura promosi ke divisi utama, pasca meraih medali emas di Jakarta.

Hebatnya lagi, mereka melakukannya hanya dengan 14 pemain, beberapa di antaranya yakni Nando Fairyo, Theo Awom, Yohanis Bonay, Ritham Madubun, Ramses Rumbekwan, Ronny Wabia, Abdul Aji Mayor, David Saidui Chris Leo Yarangga dan lainnya.

"Waktu itu kita main di Bali karena mereka sebagai tuan rumah, dan kita ketemu tim-tim seperti Persijap Jepara, Persedikab Kediri dan Perseden Denpasar. HB Samsi menukangi kita mulai dari Bali sampai kita lolos ke Jakarta dan kita berhasil membawa Persipura kembali promosi ke divisi utama usai menang dari Persiku Kudus," terang Nando.

"Materi pemain kita saat itu sama dengan saat kita berlaga di PON XIII. Cuma ada penambahan pemain pas di divisi utama. Jadi September 1993 kita juara PON dan Desember kemudian di tahun yang sama kita membawa Persipura kembali ke divisi utama," tambahnya.

1994/1995, Persipura generasi baru menandai kemunculan mereka di era sepak bola profesional Indonesia, berkat perjuangan heroik sekumpulan remaja Class of '86. Mereka menjadi peserta Ligina I usai kompetisi Perserikatan dan Galatama dileburkan.

Stadion Mandala kala itu berubah drastis, kembali dipadati publik Jayapura setelah nyaris beralih fungsi menjadi kebun singkong.

"Setelah kita berhasil kembali promosi, semua orang mulai kembali memenuhi Mandala. Itu menjadi sebuah kebanggaan dan momen bersejarah bagi kami yang berjuang dari masa degradasi," pungkasnya.

Menariknya, perjuangan tim PON XIII yang berhasil membawa Persipura kembali promosi ke divisi utama murni sebuah pengabdian. Harga diri dan kehormatan lebih penting dari pundi-pundi rupiah kala itu.

Nando cs hanya mendapatkan bonus sebesar Rp150 ribu atas keberhasilan mereka, yang diberikan oleh Bupati Jayapura kala itu, Yan Pieter Karafir. Walau tak memiliki gaji tetap, Nando cs tak pernah berkeluh soal itu.

Kejayaan Nando Fairyo dan kolega itu tak terlepas dari peran HB Samsi. Guru STM ini adalah peletak dasar sepak bola Papua ketika pertama kali melatih Persipura di era 60-an. Ia lantas dipercaya untuk membina PPLP Papua angkatan pertama tahun 1986.

Kisah heroik Class of '86 bersama pelatih HB Samsi dan sosok manajer Spencer Infandi adalah awal dari lembaran baru Persipura di era profesional. Andai saja tanpa mereka di masa itu, bagaimana nasib Persipura saat ini?

3